Pertanda

58 12 7
                                    

"Bul! Lihat geura!" Dinar mengguncang bahu Abul membuat Abul tersentak kaget dari diamnya.

"Dewi geulis pisan," cerocosnya sambil geleng-geleng kepala.

"Oh." Abul berucap datar.

"Kapan ya aing dapet pacar kayak Dewi. Sholehah, pinter."

"Maneh serius teu (ga) sih, kalo nggak buat aing." Dinar jadi sewot sendiri.
Dinar mengedipkan matanya saat melihat wajah Abul datar-datar saja.

"Bul, maneh pernah chat Vanda lagi, ya?" Abul berbalik memutar tubuhnya ke depan supaya tak berhadapan dengan Dinar.

Abul mengedikkan bahunya. "Nggak tau lah, Nar."

"Kemarin  maneh liat Jo ngebonceng Vanda nggak ?"

Abul geleng-geleng kepala.

"Vanda mah bebas ngapain aja." jawab Abul asal sambil menjatuhkan rokoknya dan menginjaknya.

"Maneh ada masalah ya sama Jo?"
Laki-laki itu hanya mengabaikan pertanyaan Dinar.

"Maneh udah," Dinar memonyongkan bibirnya, lengkap dengan bunyi cup, "makanya maneh,"

"Udah atuh (dong), Nar. Tong loba (jangan banyak)  nanya geura. Mending anter aing (gua) ke warlap!"

"Ye, maneh kok gitu sih. Aing kan nggak pernah pacaran, aing cuma nanya."

~

Sudah empat hari sejak terakhir kali Dewi menanyakan kabar Abul, laki-laki itu tak pernah lagi membalas pesan Dewi. Sebenarnya Dewi merasa senang juga, masalahnya pacaran dengan murid berandal seperti Abul entah kenapa buat Dewi jadi tak fokus belajar.

Gusti, Abul kemana,ya. Lirihnya kesal. Kebetulan ponselnya berbunyi dan mamanya seketika masuk mendapati anaknya memegang ponselnya.

"Dek, nggak belajar?"

"Ehm?!" bola matanya melirik mamanya.

"Adek serius sekolah nggak sih?"

"Adek juga butuh istirahat, Ma."
Dewi lantas geleng-geleng kepala sambil melemparkan tatapan sebalnya.

Less Crush, Less StressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang