Poem

17 3 0
                                    

Van,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Van,

Kamu tahu kan, Urang ikut ekspedisi setahun ke depan, kamu juga tahu kalau makanan di kapal itu hambar, makan jadi nggak enak, nelan ludah aja pahit semenjak tahu kamu bareng Abul sekarang. Seharusnya Urang ikut SBMPTN, seharusnya urang yang ada di posisi Abul, seharusnya urang yang ada di samping kamu, jagain kamu.

Urang sayang kamu, masih sayang Van.

Abul membaca surat dari Jo untuk Vanda, sudah lusuh, ditemukan oleh Abul di depan kamar Vanda, masih tersegel, belum di buka.Ia mengambil map tersebut saat menjemput Erni untuk menuju Ubud sore itu. Seharusnya Abul tak membukanya, tapi ketika melihat nama sahabat lamanya tertulis sebagai pengirim di map cokelat tersebut membuat Abul merasa malas menghadapi ketidakstabilan perasaan Vanda. Gadis itu gadis yang mudah tersentuh perasaannya. Tapi ia tak membenci Vanda atas ketidakmampuanya mengontrol perasaannya, ia menyayangi gadis itu. 

Tak lama muncul ibu-ibu membawa nampan berisi kopi.

"Silahkan, diminum dulu, Geg, Gus." (Artinya cantik, ganteng, tapi lebih ke mba, mas kalau dipakai sehari-hari.)

"Gua bingung, kok lu setega itu sama Vanda."  Abul duduk di balai-balai di seberang danau yang menghadap ke arah Gunung Batur. 

  Abul tersenyum miris. 

Ia menunduk.  

"Dulu, waktu Vanda ada masalah di rumahnya, gua yang nemanin, bukan dia."

Erni ikut menunduk.

"Semua cowok sama, nggak mau kalah." 

Abul tersenyum. 

Percakapan dua orang itu terputus begitu mendengar bunyi ponsel Abul berbunyi. Ia meninggalkan Erni yang larut dalam kecanggungan.

"Halo, Bul." Sapa Vanda di seberang sana.

"Halo sayang,"

  Vanda merasa canggung seusai dipanggil seperti itu oleh Abul.  

"Aku ganggu, ya ?" 

"Nggaklah," jawabnya santai.

" Si gondrong itu nggak ganggu kamu, kan ?!"

"Emangnya dia anak kecil apa, yang hobi gangguin anak orang ?! Dia udah semester tua, jangan bawa-bawa nama dia, .. kasihan." pelak Vanda dingin.

"Ya udah, aku ke depan dulu, Erni sendirian di Danau,"

Tak lama nada sambungan terputus di seberang sana.

Abul menghela napas, memilih untuk berbohong pada Vanda, entah untuk tujuan apa, gadis itu tak pernah merasakan apa yang dirasakan olehnya.


 Erni memperhatikan Abul yang masih berdiri, ponselnya sudah ia turunkan dari telinganya, memandang ke arah Gunung Batur, tanpa meliriknya sedikit pun. Dinginnya malam di Karangasem, membuat Erni merapatkan jaket ke tubuhnya, ia melirik Abul seakan biasa saja dengan suhu empat belas derajat celsius. Mungkin di Bandung suhunya seekstrim ini, pikirnya.


"Bul, kok diam aja ?" teriak Erni pada laki-laki itu.

"Gua balik ya, mau tidur."

"Bayar dulu kopinya,"

"Bayarin." ucap Abul yang semakin melangkah menjauh dari balai.

Erni melirik punggung Abul dengan jengkel.

Laki-laki itu segera menuju penginapan, meninggalkan Erni di balai. Setelah Abul hilang dari kejauhan, Erni melirik segelas kopi Abul yang belum sempat diminumnya, ia tersenyum memandangi kopi tersebut.

Less Crush, Less StressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang