Halo kawan, hft, senang bisa nulis hari ini, mau cerita sedikit, aku nulis chapter ini sembunyi-sembunyi karena ga dibolehin nulis-nulis kayak gini sama Ibu aku, karena aku ga kunjung diterima oleh PTN, aku udah ditolak 8 kali, cuma pesan buat anak SMA, rajin belajar saat SMA dan akrab sama guru biar guru punya kesan baik sama kamu, dan saat ngasih nilai gurunya ikhlas, hhe sekian, wassalam.
Enur: Meski tak seindah puisi hati, ..
~
Enur lalu naik ke ranjangnya dan tengkurap bersama novel yang ia beli bersama sahabat barunya, Vanda.
Enur belum pernah pacaran, Enur meringis membayangkan laki-laki good looking dan cerdas itu, juga seandainya punya perasaan padanya.Seorang perempuan masuk ke dalam kamar, melihat anak perempuannya sedang terdiam larut dalam hayal. Wanita itu gepeng kepala melihat tingkah putrinya.
~
"Nar!" laki-laki disampingnya menoleh, lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Menurut maneh, urang chat duluan atau langsung ke rumahnya ?" laki-laki itu melemparkan senyum penuh arti.
"Basa-basi busuk ae dulu." Selorohnya tak peduli."Ah maneh, males aing sama maneh!" lalu pandangan Abul kembali tertuju pada ponsel dalam genggamannya. Biasanya Abul paling malas dalam urusan ponselnya, tapi mendadak malam ini berubah drastis. Bahkan sama sekali tidak menyentuh sebatang rokok padahal biasanya berbatang-batang.
~
Dua puluh menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi, Vanda sudah berada di sekolahnya, begitupun Abul untuk menghindari macet kota Bandung.
Vanda melangkah masuk ke gerbang dan melihat Abul memarkirkan sepeda motornya di depan pelataran gerbang sekolah.
"Hai." sapa laki-laki itu santai menyamai langkah gadis itu. Ia kelihatan lebih manis saat kulitnya menyentuh udara dari pepohonan di sekeliling sekolah. Lebih terlihat segar.
Jangan nyapa Bul, entar aku suka, lirihnya.
"Hai." jawab Vanda datar dan mempercepat langkah kakinya menuju anak tangga ke lantai atas kelas mereka.
Saat Abul masih memperhatikan Vanda, gadis itu tiba-tiba menoleh. Tatapan mereka bertemu. Lalu Vanda menoleh kembali ke depan. Laki-laki itu menatapnya penuh tanda tanya.
"Anjir! Urang salah naon ?!" Abul mendadak kesal.
Bel masuk telah berbunyi tiga kali lima belas menit yang lalu. Vanda melotot kaget melihat bangku laki-laki itu kosong.
Dewi memperhatikan Vanda tapi pandangannya polos. "Abul biasanya ke mana kalau mabal?" tanya Vanda pada Dewi.
Anak perempuan itu mengedikkan bahunya. Vanda berdecak, dia melirik ke belakang kursi Enur yang juga kosong. Hari ini Vanda duduk bersama Ahmad, karena ia terlambat.
Beruntungz Vanda kembali lega ketika melihat Abul dan kawannya Dinar masuk saat jam pelajaran Sejarah.
Bu Yasmin masuk tepat waktu, perempuan muda itu melangkah masuk dan duduk. Ia mengedarkan pandangannya kesekeliling kelas.
"Abul, tolong tutup pintunya!" seru Bu Yasmin.
Abul berdiri dari duduknya, "Bu, Ravis masih di luar." potongnya.
"Siapa suruh. Ayo cepet ditutup, Bul."
"Siap Ibu." ucapnya senyum-senyum. Ia menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
"Ibu, kemarin kok chat saya ga dibalas ?" tanyanya sopan.
"Oh, asa udah." jawabnya sambil tersenyum kecil sembari membuka buku paket Sejarah."Oh Abul mau nge-chat Bu Yasmin semalem, kirain teh saha (siapa), Bul." Teriak Dinar jahil. Anak kelas J memandang ke arah Abul.
"Enggak, cuma nanya materi." Ucap guru muda itu.
"Cie," goda Vania pada Bu Yasmin.
Abul hanya senyam-senyum."Ah, basa-basi si Abul Bu, bohong itu mah." Ucap Dinar tak percaya.
Kelas kembali normal, guru muda tersebut mengetik di laptopnya, lalu mengalihkan pandangannya pada gadis yang duduk di depan.
"Kamu siapa namanya?" guru tersebut menatap Vanda.
"Saya Vanda, Bu."
"Baik Vanda, pendapat kamu tentang kemerdekaan Indonesia bagaimana, apakah kemerdekaan Indonesia pemberiaan atau perjuangan Bangsa?"
Vanda mencermati setiap pertanyaan Bu Yasmin. Vanda ragu-ragu menjawab, ia kembali mengingat-ingat saat ia bersama Ayahnya mendiskusikan Sejarah dan Indonesia.
"Kalau.. Menurut saya, perjuangan bangsa Indonesia memperjuangkan Indonesia itu luar biasa, dengan nyawa, waktu, harta untuk kemerdekaan Indonesia bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tapi, mungkin kita tidak boleh menutup mata atas pekerjaan yang di atas melalui Amerika Serikat atas kekalahan Jepang tahun 1945."
Hening memenuhi ruangan seketika, ketika Vanda selesai mengutarakan pandangannya.
Vanda khawatir pendapatnya salah, Bu Yasmin tampaknya sedang berpikir-pikir, ia kembali membuka mulutnya untuk berbicara.
"Ada yang tidak setuju dengan pendapat Vanda?" tanyanya sambil menulis di jurnalnya.
"Saya Bu," ucap laki-laki di sudut belakang kelas, tangannya masih menggantung saat Bu Yasmin menaikkan wajahnya dan melihat ke asal suara tersebut.
"Iya, kenapa Bul?" tanyanya.
"Iya, saya setuju Bu." ucapnya meringis. Vanda menatapnya. Sahutan anak kelas yang kesal berharap mendengarkan sanggahan Abul, yang hanyalah candaan olehnya. Begitulah hari itu berakhir dengan normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Less Crush, Less Stress
Nonfiksigadis yang tengah berenang di dalamnya lautan perasaan.