would u

22 3 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Abul tadi telepon, dia nyuruh urang mutusin kamu. Abul masih suka. Biar Abul yang jagain kamu di sana, Van

Kalimat yang Jo sampaikan lewat telepon. 

Abul memandangi Vanda. Namun Vanda tak bicara apa-apa, hanya diam dan kembali menatap tehel di bawahnya. 



"Urang mau ketemu kamu,"

"Ketemu siapa ? Erni ?" Ada emosi berkecamuk dalam dadanya, mengaduk-aduk emosi dan perasaannya.

"Van, dengarin urang dulu,"

"Urang nggak ada niat becandain maneh, urang cuma mau jagain maneh," Abul menatap sendu Vanda penuh harap.

"Aku emang butuh dukungan, Bul. Tapi nggak gitu caranya," ada ledakan emosi dalam dirinya.

"V, Van," Vanda mengalihkan pandangannya ke depan saat mendengar gumaman suara tenggorokan yang tertahan dari Abul. Abul berjalan mendekat dan menggenggam jemari tangan itu, mencari kehangatan dari genggaman tangan yang saling bertaut. Lama digenggamnya. Tangan itu tak pernah ia genggam saat di Bandung. Tangannya menggenggam sebagaimana tangan Jo menggenggam tangannya.

"Maaf Van," bisiknya lirih.

Vanda berusaha menggerakkan bibirnya, seolah pita suaranya terjepit sesuatu membuat kata-katanya tertahan di tenggorokan.

"Iya, Van. Aing emang goblok Van," kembali digenggam tangan itu lebih keras saat merasakan tangan itu semakin dingin.

"Iya, emang maneh goblok, Bul."

" Tapi urang sayang," 

Abul terpana.

Bibir itu mengatakan perasaannya, bukan untuk Jo, tapi dirinya.

"Iya, urang sayang sama maneh," lanjutnya.

Jari tangan Abul beralih mengusap kepala Vanda. "Urang tahu, maneh cuma ngomong itu buat jaga perasaan urang," balasnya selirih embusan angin malam.

  Vanda mendongak, menatap Abul tak percaya. 

  Abul menatap wajah Vanda, perasaan yang dulu ditahan mati-matian Abul agar tidak meledak, penyesalan sampai puluhan emosi yang selama dua tahun ini ia tunjukkan, setelah sekian tahun ia memupuk harapan dengan kemungkinan Vanda akan menerimanya suatu hari nanti, lalu kembali padanya dan mengisi kehangatan dalam hatinya seperti pertama kali mereka bertemu.  


Abul berpaling mengecup singkat kening Vanda, "tolong jadi pacar urang, Van."

  "Urang ikhlas. kalau pada akhirnya maneh cuma nganggap urang batur, tapi kasih urang kesempatan,"  

"Bul," kalimat Vanda berhenti saat melihat sepasang mata itu menatapnya, jantung Vanda meluruh jatuh ke perutnya.

Abul bergumam sambil menyentuh tangan Vanda. Dikecupnya punggung tangan itu panjang.

Sudah cukup Abul kehilangan Vanda untuk Jo, tak ada lagi Jo yang lain, atau laki-laki gondrong yang kerap muncul dihadapan Vanda, Abul tak mau kehilangan lagi.

Selama ini Abul menerjang batas rasa hanya untuk melindunginya.

Walaupun terkadang Abul meminum alkohol bahkan merokok dihadapan Vanda, tapi dalam gumam doanya selalu terselip nama gadis itu. 

"Maaf Van, " suara Abul terdengar gemetar, cowok itu mendesah panjang dan mengucapkan permintaan maaf sekali lagi atas perasaannya pada gadis itu.

  Tangan dingin Vanda berusaha menggenggam tangan Abul, Vanda mendekatkan wajah dan meletakkan tangan itu di pipi. Dengan gerakan yang lemah dan gemetar, tangan Vanda berusaha mengusap pipi Abul. 

Sentuhan itu berhasil menyentuh hatinya. Sentuhan itu mengingatkannya akan kenangan masa SMA saat Abul melepaskan Vanda untuk Jo hanya karena masalah sepele. Abul mendekat, duduk di samping Vanda. raut wajahnya menampilkan keterkejutan yang samar, tak menyangka Vanda menyayanginya seperti ia menyayanginya selama ini.  

Vanda membeku. 

Waktu seolah dipaksa berhenti. Seluruh pandangannya gelap dan hanya Vanda yang menjadi objek perhatian,

Tangan Abul bergerak menarik selimut dan menutupi tubuh Vanda. Vanda diam memaku, ada atmosfir sehangat peluk yang memenuhi ruangan ini.

"Van, kamu tidur ya, urang balik dulu," bisiknya lirih. Ada seulas senyum bersembunyi dalam seraut wajah Vanda. Abul menatap matanya dengan sorot kehangatan yang terpecah menjadi angan-angan bagi Vanda. Jarum jam seperti ditarik mundur di kepalanya. Saat Abul mengajaknya makan siang pertama kali. Saat Abul mengecupnya di Warlap. Wajah Abul yang tak suka ketika ia bersama Jo. Seulas senyum Abul. Setiap inci kenangan yang pernah terajut dalam kurung dua tahun.


Setelahnya, Abul kembali berdiri tegak, mencoba menetralkan debaran jantungnya, Abul berjalan keluar dan menutup pintu, lalu kembali menuju kosnya.





Less Crush, Less StressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang