Sudah menjadi hobi untuk Abul mabal jika sedang dilanda malas.
"Dewi, kamu kenapa? Tiba-tiba diem gitu," ucap Vanda.
"Ngomong dong, jangan buat urang bingung begini." tambah Enur.
"Nggak. Nggak pa-pa. Kalian mau makan ya? Duluan aja."
Enur dan Vanda saling berpandangan, Vanda sudah keroncongan sejak tadi. Lantas mereka meninggalkan Dewi.
"Pasti deh Dewi duluan yang mutusin, urang yakin dia bosan sama Abul," kilah Enur saat mereka berdua sudah keluar kelas, kelas sudah sepi setelah bel istirahat pertama. Vanda menatap Dewi yang masih duduk di kursinya. Perempuan itu hanya diam saja sejak tadi.
"Dia yang mutusin, kok jadi dia yang pucet? Aneh banget."
"Kayaknya Abul yang mutusin Dewi," ucap Vanda tak yakin.
"Engga aih kamu, Dewi itu agak pemilih orangnya."
Tak lama ponsel Vanda bergetar.
"Abul nelepon," bisiknya lirih saat melirik ponselnya.
"Jangan diangkat. Biarin aja." Enur geleng-geleng kepala.
"Nggak mungkinlah. Kayaknya Abul mabal lagi, mungkin mau minta tolong tugas. Aku angkat dulu deh."
Vanda menjauh dari Enur untuk mengangkat telepon Abul, tanpa memedulikan Enur yang melemparkan tatapan nelangsanya supaya Vanda sadar betapa bodoh tindakannya.
Beberapa menit berlalu, Vanda muncul lagi.
"Abul nanya ke aku, lagi bareng Enur ga?!"
"Lah, kunaon nanyain urang?!"
"Katanya kemarin liat kamu bawa novel dewasa, pas dia ngambil pulpen di tas kamu." Vanda dan Enur saling berpandangan.
"Ih, pas di Pitimos (tempat baca di Jl. Banda) salah ngambil, kemarin itu mau dibalikin pas pulang sekolah tapi belum sempat soalnya kamu nggak nemenin kemaren." Enur geleng-geleng kepala.
Vanda hanya bisa meringis.
"Kamu nggak bilang lagi bareng urang, kan?"
"Ng... aku bilang lagi bareng mau ke kantin."
"Kenapa bilang gitu? Entar dia nge-bully urang!"
"Katanya minta tolong kamu beliin rokok di luar gerbang, dia lagi duduk di warlap."
"Nah itu si eta di warlap!"
"Warlap lagi tutup. Mau nge-DM Faza alumni, ceunah kalo nggak cepetan."
"Ya ampun, Van. Mama urang kan jualan di kantin, kalo urang beli ke mang-mang di luar, entar urang dilaporin," Enur menutup wajahnya sambil memijat kening.
Tak lama suara-suara Abul dan teman-temannya tidak terdengar lagi, digantikan dengan suara langkah seseorang menghampiri warung kecil di bawah pepohonan sepanjang jalan Bali yang membuat Abul mengangkat wajah.
Ia tersenyum begitu dilihatnya Vanda dan Enur sambil membawa sebungkus rokok ditangannya.
Enur menatap Abul kesal melihat teman-temannya sedang mengisap rokok.
"Itu rokok!" Kilah Enur menunjuk meja di depannya, saat mereka berdua sudah berada di depan Abul.
"Rokok urang Gudang Garam Internasional, mereka Sampoerna Mild."
"Apa bedanya gandeng. Sama aja!"
"Rasanya istimewa, Nur. Maneh engga ngerti."
"Ayah juga rokoknya itu, menurut aku kayak bau Stroberi." Ucap Vanda menatap Abul yang kini menatapnya.
Abul terdiam mendengar suara Vanda, tak tahu harus membalas apa.
"Abul jangan bilang Kang Faza ya,". Enur melirik Abul dengan tatapan puppy eyes, supaya ia tidak mengganggu urusannya.
"Ya udah. Nuhun ya, Nur." Setelah mengatakan itu, Enur menarik Vanda supaya segera meninggalkan warlap.
Abul berkata. "Semoga cepat putus ya."
Entah kenapa membuat Vanda tertawa geli.
"Cepat putus ya, Nur. Urang tunggu." Vanda berbalik menatapnya terkejut, gadis itu segera menegakkan tubuhnya sebagai bentuk ke-awkward-an.
Di situasi begini, dia ngelawak atau sarkasm, Vanda berkata lirih dalam hati.
Atau perasaan aku aja? Vanda bertanya pada diri sendiri.
Iya, aku yang ke-ge-er-an.
"Van! Minum kamu ketinggalan." Abul mengangkat botol minuman.
Vanda berbalik mengambil botol minuman dari Abul. Setelah melihat Vanda berbalik, Abul tiba-tiba meneguknya tanpa permisi sampai habis dan memberikan botol minumannya pada Vanda.
"Sorry,"
"Santai aja," ucap Vanda. Abul menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sementara menatap Vanda, Abul mengangkat alisnya dan menikmati ekspresi Vanda yang kini datar.
"Kamu cantik kalau lagi diam." dan detik berikutnya laki-laki itu bangkit dari duduknya, dan mendekat ke wajah Vanda, Vanda spontan terdiam, Abul mencium Vanda singkat.
Ditundukkan wajahnya dalam-dalam, tidak berani menatap wajah Abul yang ikutan terdiam. Wajah Vanda perlahan-lahan terasa panas.
Vanda terdiam tanpa suara, jantungnya nyaris dibuat melompat ke perut karena tindakan Abul.
Enur dan teman-teman Abul, mematung tanpa suara sesaat.
"Serius," ucapnya pelan.
"Itu yang pertama buat urang."
Vanda memanggut pelan, seperti paham sesuatu, membuat wajahnya merona menatap Abul sekilas dan berbalik pergi menarik Enur yang terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Less Crush, Less Stress
Документальная прозаgadis yang tengah berenang di dalamnya lautan perasaan.