I Can Give a Ride Too on My Back

50 10 25
                                    

Senja yang mulai pekat menenggelamkan dua orang yang saat ini duduk saling berhadapan di salah satu kafe di pinggir kota Bandung. Abul sengaja mengambil tempat duduk di balkon dan ruangan terbuka, karena ia ingin merokok di sana.

Dewi memperhatikan bagaimana laki-laki itu mengisap rokok dalam-dalam sambil berpikir sesuatu yang dapat Dewi tebak.

"Mau ngomong apa, Bul?" Dewi yang pertama kali ambil alih pembicaraan, tidak tahan dengan sikap dingin Abul.

"Abul aku mau les, kalau kamu nggak ngomong, aku pergi aja."

"Dewi." Abul menarik napasnya sebelum berbicara, "maaf." tidak ada sepatah kata lagi dari Abul.

Dewi hanya diam saja. Bahkan walaupun Abul belum berbicara, Dewi sudah mengerti bahwa Abul ingin mengakhiri hubungan tak jelas yang mereka jalani selama ini.

"Aku tau kamu mau udahan, kenapa susah ngomongnya?"

Abul melumat puntung rokoknya ke asbak di atas meja. Abul merasakan sesuatu menggumpal di dadanya.

"Urang ga mau bohong, kalau urang masih suka Vanda yang mau terima urang, meskipun urang sebenarnya biasa aja," tercetak senyum miris di ujung bibir Dewi.

"Abul tidak berkutik. Kata-kata Dewi telak menendangnya.

Bibir Dewi terkatup rapat, tidak tahu kata apa lagi yang seharusnya dibicarakan hingga akhirnya air mata yang menjawab semuanya. Setetes air mata bergulir di pipi Dewi yang dingin. Abul hanya diam menatap air mata itu.

"Aku udah telat les," lirih Dewi perlahan. Abul seakan ingin memeluk Dewi dan menghapus air mata itu.

~

Sementara dalam ruang lingkup sekolah, anak-anak berada di lapangan Bali, sebagian masih di kelas dan sebagian mengeluarkan motornya untuk bersiap-siap keluar gerbang untuk pulang.

Vanda masih di koridor sekolah saat itu, tiba-tiba merasakan tangannya ditarik oleh Jo supaya mengikutinya, Vanda mencoba mengelak, untuk bertanya, tapi cengkraman Jo terlalu erat dan mustahil untuk dilepaskan.

Anak-anak yang tadinya berada di lapangan Bali, mengerumun, lalu membentuk lingkaran setan.

Jo menariknya ke tengah, Abul hanya menonton dari kejauhan, tidak berani melakukan apa-apa, hanya bisa melihat temannya berusaha mengungkapkan perasaannya di depan anak-anak lain.

Mata Jo tertuju pada Vanda yang berada di depannya, Vanda menggigit bibirnya, tersadar bahwa detak jantungnya terasa lebih cepat dari sebelumnya.

Muncul sebuah perasaan yang tidak Abul pahami; perasaan kecewa.

"Van."

"Ya Tuhan, Jo." Vanda terlihat pucat.

"Terima dong!" teriak seorang siswa tampak cengengesan.

"Terima atuh temen urang!" teriak Dinar.

Mata Vanda tertuju pada Jo, ia tersenyum lalu mengangguk.

Astaghfirullah, Van! Kenapa nggak nunggu urang. Lirih laki-laki itu dari kejauhan.

Jo mencium ubun-ubun Vanda sampai menimbulkan tepuk tangan dan suara cekikikan yang riuh.

Less Crush, Less StressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang