Halo, trims for visitting, kalau ada kritik terhadap alur atau latar yang aneh, tidak masuk akal, let me know hhe
Matahari bersinar menembus rerimbunan pohon. Tapi, Vanda masih berdiam di kamarnya. Kejadian bengis dua minggu lalu, membuatnya terguncang sampai sekarang. Oleh karena itu, Vanda memutuskan untuk absen hari ini, ini sudah hari ke sepuluh Vanda tak masuk sekolah, ia tak peduli. Setelah menangis dalam diam, Vanda memutuskan menerima kenyataan, tantenya, saudara ibunya, memberikan waktu istirahat sebentar, lalu menyuruh Vanda mandi dan makan. Sebelum melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang lengket, tepat saat Vanda keluar dari kamar, tiba-tiba tantenya dari lantai bawah, menutup gagang telepon saat mendengar langkah sandal dari lantai atas.
"Kenapa?" tanya Vanda melihat tantenya bertingkah gugup.
"Nggak tahu, tante agak merinding aja," katanya. Lalu Vanda teringat teriakan-teriakan tertahan dua minggu lalu, persis seperti pembunuhan yang mendatanginya mendadak. Ia sangat sensitif sekarang ini, Vanda merasa seolah tanah yang dipijaknya bergetar.
Ia turun, persis seperti kangkung layu.
"Sini," terdengar suara tantenya dan melambaikan tangan. Dikungkung rasa hancur, akhirnya Vanda memutuskan untuk tenggelam dalam pelukan hangat tantenya. Lalu tidak lama kemudian, ada beberapa orang datang dan memasuki rumah Vanda.
Vanda sempat kaget, berusaha menyapa, tapi ia sedang tak ingin berbasa-basi.
"Aku mandi dulu ya." gadis itu segera melambaikan tangannya.
~
Vanda menghela napas saat membaca pesan teks yang masuk ke ponselnya.
"Van, Kamu sakit ya?"
Gadis itu berdiri di depan ranjang. Ia rindu sekolah. Anak-anak kelasnya juga silih berganti menanyakan kabarnya.
"Bengong aja!" Vanda tersentak mendengar celetukan tiba-tiba itu, ia memasuki kamar Vanda dan melihat sekeliling. Vanda menghela napas sedikit kesal.
Pasalnya, Vanda akan ganti baju, dan akan lebih sopan jika sepupu laki-lakinya itu mengetuk sebelum memasuki ruangan yang asing baginya.
Ia menatap sepupunya, sedang berdiri di tiang ranjang yang tak jauh dari Vanda, bersandar dengan satu tangan di saku sambil mengisap rokok dengan santai diikuti kepulan asap yang berembus keluar dari bibir.
Laki-laki itu ikut menatapnya, hanya sekilas, karena detik selanjutnya sepupunya justru menggelengkan kepala melihat Vanda dengan tatapan kasihan.
"Kapan balik ke Palembang?" laki-laki yang bernama Yogi itu melihat ponselnya, sudah pukul lima lewat sepuluh sore.
"Males balik." Vanda mendadak bisu, itu artinya ia akan menginap di rumahnya.
~
Abul melambatkan laju motor, rumahnya di mana, ya?! Lirihnya.
"Eh," Abul menghentikan beberapa anak dengan seragam SMP."Jalan Lombok di mana, ya?"
"Masih depan lagi, abis warteg, lurus, terus ada kantor kelurahan, sepanjang itu udah Jalan Lombok."
"Nuhun ya," ia sekarang terlihat fokus pada jalan raya. Awas aja si Enur bohong, lirihnya. Rek aing bully si eta nepi ka geuring.
Ia mengambil ponsel dari sakunya, menge-slide layar dan segera menghubungi nomor Enur. Lima kali Abul berusaha menelepon nomor itu, tapi operator yang terus-menerus menyahut, memberi informasi bahwa nomor tersebut sedang sibuk, laki-laki itu terlihat resah. Dia lantas berusaha menelepon sekali lagi, terdengar jawaban dari ujung ponselnya.
"Rumahnya di mana?" Enur tersentak kaget, tersadar sesuatu. "Eh, iya, aih kamu di mana?"
"Depan kantor lurah."
"Nah iya, lihat ada rumah putih, teu (ga)?"
Abul kembali mengamati sekelilingnya.
"Ngomong naon aih kamu, ini rumahnya cat putih semua!"
"Samping kantor lurah, ada rumah putih yang ada pohon pinusnya," Abul mengamati, detik selanjutnya, dan kembali berdehem.
"Depannya rumah putih itu, ada kantor advokat, nah samping kanannya rumah si eta."
Abul mengakhiri pembicaraan setelah menemukan rumah yang di maksud.
Saat melirik ke belakang, laki-laki itu melihat sebuah mobil sedan putih baru saja masuk ke gerbang rumah tersebut. Abul turun dari motornya.
Seorang wanita turun dari mobil.Abul menepikan motornya, dan segera turun lalu masuk ke dalam rumah tersebut.
"Kenapa dek?" tanya wanita itu. Abul berdehem ragu, "Saya ketua kelasnya Vanda Bu," ucap Abul berbohong, "Sudah dua minggu nggak sekolah, guru sama anak kelas parada nyariin, disuruh wali kelas untuk jenguk Vanda."
"Tunggu ya, Nak. Tante panggilin." laki-laki itu segera menganggukkan kepalanya.
Vanda turun dari beranda, memijak anak tangga dan berlari kearah Abul.
"Enur titip salam, katanya cepet balik sekolah ceunah (katanya)."Vanda hanya diam, ia kelihatan kurus dan tak bersemangat. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Vanda. Dia hanya membisu, tanpa melontarkan satu jawaban sedikit pun.
"Van, kamu kenapa?" Abul meraih tangan Vanda dan meremasnya. Abul melirik Vanda dan laki-laki itu tersenyum lembut dengan sorot penuh kehangatan, menjelang tenggelamnya sang surya, dan hanya menyisakan kegelapan.
"Urang mau lihat kamu, syukur kalau kamu sehat."
"Kenapa baru sekarang datangnya?" tanya Vanda.
"Urang sibuk, euy." Vanda mengatupkan bibirnya, rapat-rapat.
Vanda memalingkan wajahnya. "Van, kenapa diam aja? Boleh jalan bentar ? Ayam penyet depan Taman Lalu Lintas, lumayan enak." laki-laki itu menatap Vanda penuh harap.
Gadis itu mendekat, menyejajarkan posisinya untuk menatap mata laki-laki di depannya. Ia lalu mengangguk menyetujui ajakan Abul dan segera menaiki motor Abul.
~
Suasana kelas XI-J memang tidak berbeda dari kelas lainnya sewaktu tidak ada guru. Berisik, rusuh, apalagi ditambah Enur dengan suara melengking bercerita tentang foto instagramnya yang di like oleh kang Faza.
Kubu cowok berteriak dan berdebat, kecuali Abul yang duduk diam di pojokan. Laki-laki itu tidak peduli pada sekitarnya.
Hatinya masih terasa tertikam dalam-dalam, karena kehilangan.
Ayah. Lirihnya.
Abul lalu beranjak bangkit dari kursinya sambil beralih menuju Vanda. "Geser dong." Abul berdiri di samping bangku Vanda, membuat Vanda bergeser membiarkan Abul duduk di sebelahnya.
"Calon pacar ieu teh." Sahutan Enur membuat Abul geleng-geleng kepala."Gandeng!" Abul menepuk jidat Enur.

KAMU SEDANG MEMBACA
Less Crush, Less Stress
Non-Fictiongadis yang tengah berenang di dalamnya lautan perasaan.