The One u Meet Everyday Could be Killing ya

49 10 20
                                    

Keterkejutan yang semula menggantung di kepalanya kini kian bertambah.

Abul terkejut melihat kawannya dengan terbalut kain putih dan orang tua Dinar yang memegang kitab suci dengan tangan yang lunglai. Ditatapnya kain putih itu hampa. Tanpa berniat untuk memastikan itu sahabatnya, laki-laki itu masih tak percaya. Kemarin Dinar masih ada di dunia ini, meminjam korek api darinya, kini, ..

Abul keluar dari ruang tengah dan berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir diseberang rumah Dinar. Dewi melihat laki-laki tersebut berjalan menuju tempat persembunyiannya.

"Pasti ulah maneh!" geramnya pada Dewi, "Maneh ?!" Abul mendadak murka.

Laki-laki itu memandangi perempuan itu dengan sorot tidak mengerti. Abul yang memandang Dewi dengan sorot marah dan Dewi yang memandang Abul dengan sorot penuh harap agar Abul mengerti perasaannya.

"Udah urang bilangin supaya jangan ngerusak pertemanan urang, maneh malah," Abul tak lagi mampu meneruskan kalimatnya.

"Kalau emang kamu benci aku, kenapa nggak hajar aku aja? Kenapa kamu justru meluk aku waktu di rumah sakit? Kenapa?" Dewi membalas dengan serangan telak.

"Karena sebenarnya kamu nggak mau aku kenapa-napa, Bul." jawabnya tandas tanpa memedulikan raut wajah Abul yang sepucat kapas.

"Pembohong, kamu Bul. Kamu seneng, kan aku mau nyiapin acara kecil buat kamu? Apa yang kamu omongin itu nggak sesuai sama isi hati kamu. '"

"Maneh ngomong naon, urang nggak ngerti. Mau maneh apa, Wi?"

"Kepergian Dinar itu bukan salah aku, itu udah takdir, Bul! Takdir. Percuma terus nyalahin aku, nggak bakal bisa buat Dinar balik lagi."

Abul memandangi Dewi dengan sorot tidak mengerti.

"Kamu berubah, Wi." Abul menatap iris mata Dewi telak.

Tangan Abul yang semula terkepal di samping tubuhnya kini mendadak terkulai lemas.

"Semua orang berubah, Bul. Kamu juga berubah gara-gara si centil yatim itu, nggak ada orang yang bener-bener stagnan, Bul."

"Jangan ngomong kamu .." bibirnya mendadak kering, "tolong, Wi." itu benar-benar permintaan yang berasal dari relung hati terdalamnya.

"Nggak, Bul! Bukan salah.." Dewi menggeleng cepat,

"Diam!"

Dewi mendadak terdiam sebelum akhirnya meneruskan kata-katanya,

"Nggak bisa, Bul. meskipun aku capek kamu diemin, aku masih sayang kamu. Aku pikir kalo deketin Dinar kamu bakal peduli,"

"Tolong, Wi."

Abul terdiam lama. Begitupun Dewi.

"Udah, Wi. Urang nggak ngerti lagi apa yang ada di pikiran maneh."

Dewi membeku.

Sebuah ponsel yang ada di tangan Enur spontan terjatuh di tanah menyadarkan dua orang tersebut bahwa ada sosok lain di tempat yang sama, yang sejak tadi hanya menjadi penonton di dekat mereka.

Sepasang mata milik Abul memandangi Enur. Ada selaput tipis yang menggenang di kelopak matanya. Segera dia berbalik, tidak mau berlama-lama di tempat itu.

"Nur?!" Dewi mencoba menyamakan langkah mereka.

"Nggak. Nggak usah," Enur menggeleng.

Enur tak menyangka kepergian Dinar bukanlah perhatian utama Dewi, Enur masih tak menyangka sisi lain Dewi tersebut. Ia seperti tak mengenal Dewi.

Enur kemudian berbalik, dan Dewi menghentikan langkahnya.

"Maneh bukan manusia, urang nggak kenal maneh yang sekarang,"

Sedangkan laki-laki itu yang sejak tadi menahan air matanya kini menetes. Membuat wajahnya terasa panas.

Matanya berkabut. Ia menutup matanya dan menahan air mata tersebut.



Tadi kepalaku rasanya panas, terus cuci muka dan merasa adem kalem, jadi aku nulis deh, Halo ikdaless wkwk



Tadi kepalaku rasanya panas, terus cuci muka dan merasa adem kalem, jadi aku nulis deh, Halo ikdaless wkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









Less Crush, Less StressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang