For Loving Heart

39 12 14
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Dewi baru saja sampai di rumahnya sepulang dari KUMON dan tersentak kaget begitu melihat sebuah nomor tidak dikenal muncul di ponselnya. Kemudian diangkatlah telepon itu dan mendengar sambutan suara seseorang di baliknya.

"Punten, Assalamu'alaikum."

"Mangga, Ibu siapa ya?"

"Ini Neng Dewi, ya?"

"Iya? Ini siapa?"

"Ini Mamahnya Dinar, si Dinar lagi kena Virusan, jadi we besok teu asup sakola, katanya neng Dewi sekretaris kelas, ya?" Dewi berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk-angguk.

"Oh gitu, iya Bu."

"Ya udah, makasih ya, Nak."

"Oh iya, Bu."

Setelah memutuskan sambungan Dewi segera menuju ke kamarnya.







..

Keesokan harinya di sekolah. Dewi duduk di bangkunya dengan Enur yang seperti biasanya membaca novel. Dewi menoleh ke belakang dan tak melihat Dinar, Dinar yang rajin masuk kelas, kini harus alpha karena sakit.

"Nyariin Dinar, ya?" Dewi sempat bingung.

"Hah? Enggak gitu, Nur. Si eta aneh pisan, masa kata Mamahnya si Dinar lagi kena Virus, kayak komputer aja si eta."

"Yeuh, namanya juga manusia."

"Lagian ya bingung, si eta, rajin masuk kelas, tapi pinter aja nggak, nggak kayak Abul, meskipun suka mabal, tapi ulangan sering dapat bagus," Enur menggerling mendengar Dewi asal nyablak.

Dewi memijat-mijat kepalanya yang sedang berdenyut-denyut nyaris meledak, karena begadang semalam suntuk.

Sepulang sekolah, Enur, Dewi, dan Vanda berkumpul di kantin. Muka Dewi tampak gamang, jelas terlihat bahwa di kepalanya ada jutaan pikiran yang melesak. 

"Nur." Dewi duduk di depan kursi Enur.

"Ke rumah Dinar yuk?!"

"Wi, urang tanya deh, sebenarnya maneh suka nggak sih sama Dinar?" Enur memajukan tubuhnya supaya posisi mereka lebih dekat.

"Maneh tau sendiri kan, Dinar itu nggak pinter, caleuy, urang cuma nganggap temen aja,"

"Nggak usah peduliin pisan deh pandangan orang."

"Aku nggak mau ada omongan aneh-aneh yang merebak karena aku deket Dinar."

Enur terdiam, begitu pun Vanda,  yang pikirannya tak bersama dengan teman-temannya.

Dewi masih tetap diam, hanya memejamkan matanya, menarik napas dan membuka matanya lagi.

"Urang nggak paham, Wi." Ucap Enur menyerah.

"Urang balik duluan, ya?" tambahnya lagi. 

"Ke mana, Nur?" tanya Vanda. Vanda mengambil tas di meja dan menggendongnya di punggung.

"Daaah!" Vanda melambaikan tangan pada Dewi dan cepat-cepat mengikuti Enur lalu menghilang di baliknya.

...

Dinar baru saja meneguk air setelah menelan tablet putih pahit dan tersentak kaget melihat seseorang muncul di depan rumahnya. Kemudian ia membuka pintu dan menemukan perempuan cantik berpakaian seragam berdiri di depan rumahnya yang sederhana.

Selama tiga puluh menit uring-uringan menunggu, Dewi memutuskan mengetuk pintu rumah tersebut.

"Hai.." Dewi melambaikan tangannya.

Dinar mendekati perempuan itu dengan sedikit terpana. Mereka lalu duduk di ruang tamu.

"Hai, hampura ya, urang pake pakaian rumah gini."

"Nggak pa-pa kok. Aku juga minta maaf mendadak pisan ke rumah kamu. Pada kemana kok rumah sepi begini?"

"Puguhan keur arindit. Bapak kaluar kota, si Mamah balanja ka pasar."

"Kamu ga ke mana-mana?"

"Henteu, haroream." (nggak, malas.)

Dewi terdiam sejenak.

"Aku bisa minta tolong nggak, Nar?"

"Tolong?"

"Kamu tau kan, bulan ini Abul ulang tahun?"

"Ulang tahun?"

"Enggak, maksud aku. Udah lewat sih, tapi aku mau ngasih sesuatu aja, ini terakhir sekalian makan-makan kecil-kecilan bareng anak kelas sebelum kita lulus SMA!" Dewi menyunggingkan senyum lebarnya sampai deretan gigi putinya yang dilapisi kawat tipis terlihat.

Tatapannya tertuju pada Dewi.

"Aku pengen nyusun balon di Taman Musik atau lapangan Bali gitu?! Entar kita ajakin Jo, Enur, Vanda, Alkhan, kakaknya Abul sama anak-anak kelas yang lain sekalian makan-makan kecil gitu?!"

"Cemerlang nggak?"

Dinar mengangguk tak yakin mendengar penjelasan Dewi.

"Aku mau kamu temenin aku beli tikar, sama camilan cokelat, sama donat-donat gitu,"

Dinar tampak berpikir mendengar penjelasan Dewi. "Oh jadi kayak piknik gitu, ya?"

Dewi mengangguk bersemangat.  

Dinar sedikit tertohok mendengarnya.

"Ya udah, mau bantuin aku? Kamu ganti baju dulu, abis itu kita nyiapin semuanya."

Masih tertegun, "Urang lagi sakit, Wi." Ucapnya pelan.

"O-oke." Dewi mengangguk lalu beranjak bangkit dari duduknya kemudian berbalik, meninggalkan dinar di belakangnya.

"I-iya. Tunggu di sini ya." 







Less Crush, Less StressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang