"Dek, tadi ada laki-laki ke sini nyariin Adek." Dewi baru saja masuk ke dalam rumahnya dan segera disambut dengan pembantunya yang datang menghampirinya.
"Dia bilang apa, Bi?"
"Ngantarin buku yang setahun lalu belum dibalikin katanya,"
"Sumbangin aja ke Balai Pustaka."
"Kalau Bibi kirim ke kampung buat cucu bibi, boleh Dek ?"
"Boleh." Kata Dewi mengakhiri pembicaraannya. Bi Sipon berbalik, kembali ke kamarnya, meninggalkan Dewi sendirian di teras depan rumahnya.
Gadis itu menatap langit-langit rumahnya, memori yang diam-diam menelusup secara perlahan seperti duri, ditambah senyum nistanya setiap hari, dimana pun Dinar sekarang, pasti ia memandangnya dengan kejijikan saat ini, tidak ada lagi ruang roma yang mampu bernapas tanpa luka. Karena setiap tempat mempunyai rasa bersalah.
Dewi merogoh ponselnya saat merasakan benda itu berbunyi, panggilan masuk dari Vanda, jarinya ragu untuk menggeser tombol hijau tapi ia segera menempelkan ponsel di telinga.
"Dewi, kamu dimana?"
Kening Dewi mengernyit, "Di rumah, kenapa?"
"Aku, Jo, Abul, sama Enur besok mau ke makam Dinar, kamu bisa gabung nggak ?"
Dewi tercekat, "Buat apa ?"
Hening selama beberapa detik. "Lihat besok, aja." tambahnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.