Dreams

46 11 26
                                    

Biasanya rutinitas Enur setiap minggu pagi, yaitu baca novel di kamar, kali ini ia ditemani Vanda yang menonton televisi, kedatangan Vanda yang tiba-tiba mengenakan kaos berwarna putih membuatnya tampak lebih cantik. Vanda datang dengan nekatnya ke rumah Enur, biasanya Bu Wati mengomeli Vanda karena kelalaiannya dalam praktikum Kimia. Kini setelah kelas dua belas, guru Kimia mereka bukanlah Bu Wati, melainkan Ayah Enur.

Mereka berbincang-bincang hingga petang.

Enur membatin heran saat keluar dari kamar, benar-benar di luar dugaan. Vanda juga terkejut waktu tahu Kang Faza datang ke rumah Enur. Siang ini laki-laki itu berkunjung. Kang Faza terdiam melihat Enur yang keluar masih memakai mukenahnya, menikmati wajah Enur yang lembab sehabis wudhu.

"Mau minum apa, Kang?" tanya Enur memecah keheningan.

"Air wudhu,"

Vanda dengan kernyitan bingung di kening mendengar jawaban laki-laki itu.

"Maksudnya gimana, kang?" tanya Enur.

Laki-laki itu tersentak.

"Gue belum sholat, boleh pinjam ruangan?" tanya laki-laki itu. Enur tertawa lucu, Vanda menggeleng dan kembali ke kamar Enur.

Seusai sholat dzuhur, "Nur, jalan yuk? Ke dago atas." ajaknya.

"Boleh, berdua aja?"

"Enggaklah, ajak Vanda sekalian."

Enur tampak berpikir.

" Maksud gue buat kebaikan bersama." tambahnya.

"Ya udah, bentar ya?!"

Beberapa menit kemudian, Enur muncul dengan dress pink cantik dengan make up natural di wajahnya, sedangkan Vanda dengan baju santainya dan rambut ikal sepunggung.

Kang Faza tertawa kecil melihat Enur, "Ini siapa ya?!" tanyanya jail.

"Udah aku bilangin, casual aja tapi ga mau denger kupingnya." ucap Vanda sama jailnya.

Dalam hati Enur merasa dongkol karena ledekan mereka berdua.

"Lumayanlah." balas kang Faza enteng sekaligus sok dramatis.

"Naon sih." Enur mencubit lengan kang Faza sampai laki-laki itu meringis, kemudian melirik Enur. Enur kaget mendengar jawaban Kang Faza, makanya jadi gugup.

Melihat pemandangan antara Enur dan Kang Faza, Vanda terdiam.

"Udah mulai sore, yuk berangkat." ajak Vanda sambil melangkah keluar rumah.

Sepulang dari tempat makan yang lumayan terkenal di Dago atas, Enur ingin mampir di Chatime.

Laki-laki itu memarkirkan mobil sedannya di basement, mereka bertiga turun dari mobil dan menaiki tangga menuju ruangan dengan dominasi ungu sebagai warna ruangannya.

Enur dan Kang Faza duduk berhadapan.

Vanda duduk di samping enur.
"Aku ke toilet dulu ya," Sahut Vanda.

"Yuk, aku anterin." Ucap Enur menawarkan dengan raut gugup karena harus berhadapan kang Faza.

"Enggak usah, cheezy banget sih." sahut Vanda.

"Biasa aja, jangan gugup gitu," bisik Kang Faza.

Jo memandangi Vanda dari kejauhan dengan tatapan terkejut dan dengan tatapan meneliti. Ada satu orang lelaki yang ia kenal duduk bersama Vanda dan Enur, ia adalah alumni. Kelihatannya, ia adalah pacar baru Enur.

"Vanda." seorang lelaki dengan raut sedikit terkejut menghampiri Vanda.

"Hai, aku kira kamu enggak mau nyapa aku lagi."

"Naonlah, " Jo menyikut Vanda.

"Ngapain jadi obat nyamuk di sini?!" Jo melirik ke arah Enur dan laki-laki di hadapannya.

"Cuma gabung aja,"

"Urang sedih liatnya."

"Sedih?!" ucap Vanda cepat. "Orang gabung doang kok, Jo."

Jo terdiam menatap gadis cantik yang berdiri di hadapannya.

Lalu Vanda melirik Jo dan meraih tangannya sambil mengangguk paham. "Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini."

Jo berdehem menanggapi.

"Urang traktir minum, ya."

"Nuhun." balas Vanda sambil tersenyum.

"Yoi."

Pertemuan singkat mereka berlangsung satu setengah jam yang diiringi dengan beberapa percakapan.

Tepat pukul tujuh malam, Jo izin pulang lebih awal pada Enur dan Kang Faza untuk membawa Vanda kembali ke rumah.

Sesampainya di mobil, Jo terlihat gugup. Akhirnya bisa duduk bersampingan dengan seseorang yang sampai sekarang masih ia sukai.

"Lain kali kalau mereka jalan, enggak usah gabung." cetus Jo sedikit kesal. "Urang kesel lihat kamu duduk kayak kambing congek yang bingung harus ngapain."

Vanda tidak menanggapi kata-kata Jo, gadis itu justru tersenyum geli, menikmati ekspresi Jo sambil sesekali menoleh pada jendela mobil.

Jo lalu menepikan mobilnya di pinggir jalan. Di depan gerobak yang berjualan sate madura. "Mang, satenya dua ya," pesan Jo dari jendela mobil yang terbuka.

"Aku udah makan, Jo."

"Urang masih pengen bareng kamu, Van." mata Vanda beralih menatap Jo. Vanda menghela napasnya. Vanda kembali melirik Jo. "Kenapa?"

"Urang suka kamu. Enggak boleh ya?"

"Oh."

"Oh ?"

Celetukan Jo sama sekali tidak digubris oleh Vanda.

"Van,"

"Hm." Vanda berdehem, tidak mau melirik Jo. Vanda melirik jendela, melihat asap seperti kabut di dalam gelapnya malam.

Tatapan Vanda berpaling pada Jo yang terdiam. "Kenapa Jo?"

"Kalau urang nembak, kamu nerima nggak?!"

"Maksudnya?"

Lima belas detik berikutnya Jo belum menjawab apa-apa, hanya sepasang matanya yang menatap Vanda.

Belum sempat Jo menjawab, Jo sudah maju lebih dulu, bibir Vanda terkatup rapat, sepasang lengan Jo kini merangkulnya dalam dekapan yang menenangkan.

"Urang mau kamu jadi pacar urang, Van." Vanda masih tidak berkutik, seperti bukan pertanyaan, apalagi tolakan. Vanda bisa mendengar detak jantung Jo yang berada tepat di depan telinganya.

Detik berikutnya Jo segera melepaskan pelukan dan menarik dirinya menjauh ke ujung pintu.

Ia terlihat salah tingkah. Vanda menahan tawanya melihat wajah Jo.

"Urang keluar dulu," katanya tanpa melihat wajah Vanda dan segera keluar dari mobil, meninggalkan Vanda sendirian dan memilih berdiri sebentar di pinggir jalan.

Jo berdiri di dekat penjual sate lantas tersenyum samar.

Less Crush, Less StressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang