Girl

43 11 9
                                    

Mata Vanda melihat ke arah langit malam yang tak berbintang, sudah malam, tapi karena rasa rindu pada Ayahnya, Vanda berdoa sepanjang malam mendoakan Ayahnya di atas sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Vanda melihat ke arah langit malam yang tak berbintang, sudah malam, tapi karena rasa rindu pada Ayahnya, Vanda berdoa sepanjang malam mendoakan Ayahnya di atas sana.

Sementara Jo, yang niat awalnya untuk menelepon Vanda, tapi kenyataannya telepon darinya tak ada jawaban dari seseorang di sana.

Hal yang Jo takutkan Vanda rasakan kepadanya saat ini, rasa bosan.

Pertanda bahwa Jo telah melakukan yang terbaik yang ia bisa untuk Vanda, mengorbankan perasaannya dengan membiarkan Vanda dekat dengan Abul. Sekesal apa pun ia menahan perasaannya, ia tetap merasa jealous.

Dan, Jo sepertinya harus terbiasa dengan perasaan ini.

Vanda yang kadang tak bisa ia tebak.

Abul yang dulu teman dekatnya, ada perasaan tak enak padanya.

"Ngomong atuh sama Abul," Ucap Dinar memberi saran.

"Ga enak, Nar. Masa ribut gara-gara perempuan,"

Sampai akhirnya, Dinar yakin bahwa Jo telah berubah. Ia bukan lagi Jo yang kekanakan, melainkan laki-laki yang tumbuh dewasa seiring bertambahnya waktu. 

Padahal mereka bertiga sudah saling mengenal sejak SMP, dari nongkrong, futsal, main game, jika Persib berlaga, mereka menyaksikan bersama, sampai touring ke Garut, menurut Dinar Abul sedikit berubah hanya karena perempuan. 

Barang kali kini Abul sudah bosan dengan mereka, pikir Dinar. Dan akhirnya berakhir seperti saling tak kenal akhir-akhir ini.



...

Pagi ini Vanda mengunjungi makam ayahnya.

Vanda menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang sudah mendekap salah satu laki-laki yang Vanda sayangi.

Perempuan itu duduk di depan gundukan tanah sambil meletakkan sebuket bunga di samping batu nisan pualam nan dingin.

"Ayah, Vanda sekarang punya pacar, orangnya kalem. Namanya Jo, Yah,"

Ia menghela napas.

"Aku juga punya temen, anaknya galak tapi dia kelihatan baik  sama Vanda, tapi dia sering telat bayar SPP, "

Vanda terdiam sejenak.

"Entar deh, aku kenalin Ayah ke Abul," sepi. Hanya angin semilir yang menjawab curhatannya dalam keheningan pagi itu. Duduk sendirian dan hanya ditemani burung-burung yang diam-diam mengintip dari balik pohon.

"Kalau Ayah masih di sini, mungkin Vanda udah dibotakin gara-gara pacaran," katanya sambil tertawa geli.

"Seandainya Ayah masih di sini," Vanda merajuk pada batu nisan di depannya.

"Vanda rindu," air matanya jatuh tepat di gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rerumputan, diusapnya air mata yang menetes di pipi, Vanda mengangkat kepalanya, dan bangkit untuk bergegas pergi menuju sekolahnya.

..



Jo menunggu Vanda di depan gerbang sekolah.

Vanda melangkah menuju gerbang dan melihat laki-laki jangkung berdiri di depan sana memakai jaket jeans levis, ia kelihatan maskulin. 

"Tadi malam urang telepon,"terdengar nada dingin dalam suaranya saat Vanda menghampirinya.

  "Vanda?" Panggilnya lagi .

Vanda bengong.

"Urang cuma mau tahu kabar kamu aja," ucapnya santai.

"Kamu ganteng," balas Vanda, tertawa sendiri. Jo terdiam sejenak. Mungkin Jo akan mengira Vanda kesambet.

"Naonlah." Ucap Jo tak yakin, Jo sepertinya terbawa larut dalam  rayuan lucu Vanda.

"Nggak bohong!" sedetik berikutnya Jo tersenyum.

 Vanda tersentak saat merasakan tangan Jo yang hangat meraih jemarinya, tiba-tiba Vanda ciut. 

Vanda bingung ingin berbicara apa.

"Hampura Jo, semalam ketiduran,"

Jo hanya membalasnya dengan anggukan pelan.

Mereka menaiki tangga dan menuju kelas masing-masing.



Less Crush, Less StressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang