"Mereka sudah menemukanmu!"
Siapa?
"Mereka?"
Bagaimana Chef El tahu tentang aku yang sudah ditemukan. Apa ini semua permainannya sampai dia berkata seperti itu. Tidak mungkin, ada yang salah dengan situasiku. Tapi, kenapa dia bisa tahu?
Duarr...
Sttttt...
Stttt...
Tubuhku terperanjat ke belakang, suara ledakan hebat tepat di samping gedung cafe. Asap hitam menguar sampai 5 meter, kuyakin ledakan ini adalah bom. Bukan itu saja, ada cahaya yang bersinar dibalik asap. Cahaya putih itu mirip petir dilangit. Apa yang terjadi? Apakah cafe diserang oleh segerombolan teroris? Penuh pertanyaan yang ingin kutanyakan.
"Sial! Mereka datang." Chef El nampak begitu panik.
"El! Cepat!" Bos Dion berteriak di ambang pintu. Wajahnya sama terkejut dan panik.
Aku terpaku mengamati situasi ini yang mirip film action yang sering kutonton. Ada ledakan, alien, dan semacamnya. Bedanya alien belum datang menyerang. Kulirik Chef El yang datang kearahku, dia menarik tanganku agar berdiri. Menyeretku paksa sampai hampir terjatuh karenanya.
"Ke mobil cepat! Aku akan mengambil barang dulu." Bos Dion melempar kunci mobil dan langsung ditangkap Chef El.
"Ayo!" Chef El menariku lagi menuju garasi.
Pemandangan di bawah sangat mengenaskan. Semua pegawai ambruk dilantai, kulihat Hani yang masih memegang menu tersungkur tak berdaya. Semua pelanggan juga sama, apa aku masuk ke acara reality show? Di luar asap mengepul pekat, sesekali asap masuk ke hidungku. Awalnya kukira bau busuk akan membuatku ikut pingsan tapi setelah kuhirup baunya mirip aroma mint.
"Chef, Hani?" Kutarik tangan Chef El menuju arah Hani tergeletak.
"Jangan! Mereka hanya tidur sebentar. Waktu kita tipis." Kekuatan ku tak sebanding dengannya untuk menolong mereka. Kenapa tidak panggil polisi atau pemadam kebakaran saja?
Kami sampai di garasi, di sini jauh lebih banyak asap yang mengepul. Bahkan orang yang baru datang pingsan di tempat. Tak kusangka aku benar-benar masuk ke dalam reality show. Chef El mendorongku masuk ke dalam mobil. Aku memekik saat tubuhku menabrak jok mobil keras, dia mendorongku secara kasar tanpa perasaan.
"Ayo, pergi!" Bos Dion masuk ke dalam mobil. Dia membawa sebuah tas besar dan tas ransel kecil.
"Pegangan!" Kuamati sekeliling memastikan bahwa aku cuma dijebak dalam permainan. Mobil melaju cepat hingga tubuhku terpelanting ke belakang. Rasa nyeri menusuk punggungku tak tertahankan.
"Kamu baik-baik saja, Trea?" Tanya Bos Dion. Kepalanya menengok ke belakang melihatku.
Kuacungkan jempolku, rasanya adrenalinku naik berkali-kali lipat melebihi saat bertemu Bu Sinta. Chef El melirikku dari kaca. Aku tahu ini gila, dari tatapannya kuyakin dia sedang tersenyum mengejek. Kupegang erat sabuk pengaman yang segera kupasang. Napasku kuatur, detak jantungku mulai berangsur-angsur normal. Setidaknya untuk sekarang aku baik-baik saja.
"Kita akan kemana?" Tanyaku melihat keluar jendela. Kami sudah dekat dengan perbatasan kota dengan kecepatan tinggi. Aku takut kami dihentikan polisi, namun ketakutanku menghilang saat melihat jalanan yang sepi. Semua orang pasti sedang menikmati waktu libur mereka.
"Ke tempat yang aman untuk kita." Jawab Bos Dion yang menimbulkan tanya besar dikepalaku. Tempat seperti apa yang dia maksud?
"Sial! Mereka mengejar kita!" Chef El menambah kecepatan. Kami bisa mati kapan saja bila mau. Seumur hidupku baru kali ini merasakan pacuan ketakutan.
Kutengok kebelakang untuk tahu siapa yang Chef El maksud. Mobil putih mengikuti kami dari belakang. Semuanya serba putih, sampai ban berwarna putih bersih. Sangat indah dengan sinar matahari sore menyinari mobil mereka memberikan efek kemilau jingga. Mataku terus melihat mereka, ada 2 mobil dan sebuah motor. Motor itu mempercepat lajunya sampai di samping mobil kami. Kulihat motor itu juga putih, orang yang mengendarainya juga serba putih. Takjubku juga melihat motornya yang berbeda dengan motor kebanyakan. Mesinnya tak terdengar dengan mesin yang juga putih.
"Trea! Ambil ini!" Bos Dion melempar ranselku.
Kuperiksa tas ku ada handphone dan barang lainnya. Ada juga foto kelurgaku yang selalu kubawa kemanapun dan kapanpun. Kami tersenyum bersama tanpa beban dan pikiran. Kupeluk ransel merahku erat. Aku takut dalam situasi mencekam ini. Aku merasa mirip buronan polisi yang harus kabur dan sembunyi dari orang-orang putih.
"Bos, siapa mereka?" Tanyaku.
"Demoter!" Bukan Bos Dion yang menjawab melainkan Chef El.
Apalagi ini, tadi pagi baru kudengar kata Sioner dan sekarang Demoter. Aku pasti sedang dijebak atau masuk ke dalam jebakan batman. Sejak tadi masalahnya kamera-kamera yang merekam tak ada. Ini nyatakah atau hanya mimpi buruk. Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan, bagaimana keadaan cafe, siapa Demoter itu, Sioner, dan kenapa mereka mengejar kami? Aku bisa apa dalam keadaan ini, wajah dua orang didepanku tegang dan juga denganku.
"Apapun yang terjadi, kamu harus kuat menghadapinya. Jangan lemah! Apa kamu mengerti Trea?" Bos Dion menatapku lekat.
"I-iya." Entah perasaanku atau apa. Ke depan semuanya akan semakin menegangkan dari ini.
"Meraka membuka potral di depan! Mereka mengiring kita!" Chef El berteriak marah. Urat lehernya menonjol keluar, inilah dia fase menyeramkannya.
"Kita buat potral sendiri." Bos Dion sibuk dengan tasnya. Dia seperti mengotak-atik dan mencari sesuatu.
Sedangkan aku masih berpikir, potral? Lalu aku tahu apa itu potral mereka. Ada lingkaran putih yang menganga di depan. Kuteguk salivaku susah payah. Sekarang aku masuk ke dalam film luar negri yang ada unsur ilmiahnya. Bos Dion melempar sebuah benda ke arah samping kanan melewati wajah Chef El. Dengan gerak cepat mobil melaju membanting setir ke kanan. Ada bundaran putih besar yang siap memakan kami. Kututup mataku, kami akan menabrak dinding. Kami akan menabrak!
🍁🍁🍁
"Trea!" Kurasakan sentuhan di bahuku.
Apa aku sudah mati? Wajah pertama yang kulihat adalah wajah ramah Bos Dion. Bos Dion tersenyum hangat dia menawarkan tangan membantuku. Kulepas sabuk pengaman dan mencoba keluar dari dalam mobil.
Mataku langsung menangkap warna serba putih bersih. Tak ada warna lain. Hanya putih dan putih. Kami mirip noda di atas putihnya dunia. Kulihat Chef El yang menatap ke atas. Awan masih biru, hanya warna itu yang terlihat berbeda di sana. Inikah surga itu?
"Trea, selamat datang di Whiteland." Bos Dion merentangkan tangannya layaknya mempersembahkan sebuah mahakarya hebat.
Whiteland?
"Jangan menambah pertanyaan di otak kecilnya. Ayo, kita akan pergi ke timur. Disana kita akan bertemu warga Nor." Chef El kembali masuk ke dalam mobil yang berubah jadi putih. Mungkin mereka mengganti catnya saat aku pingsan tadi.
Dia mengejekku lagi! Mataku memincing, wajah dinginnya datar sedatar tripleks. Bos Dion juga masuk, kali ini dia memilih di belakang. Aku juga masuk setelahnya, namun suara Chef El langsung membuatku duduk di depan.
"Aku bukan sopir, temani aku di depan!" Dia menambah rasa kesalku kepadanya berkali-kali lipat.
"Kenapa aku harus menemani chef di depan?"
"Dion sudah melakukan tugasnya, dia butuh tidur dan kau harus menemaniku agar aku tidak mengantuk dan membuat kita mengalami sesuatu."
Bos Dion sudah tertidur lelap di belakang. Seharusnya aku juga tidur, tadi matahari sudah tenggelam. Namun, di sini matahari masih setengah jalan untuk tenggelam. Kepalaku pusing memikirkan masalah ini. Sudahlah Trea, menikmati perjalanan aneh ini. Batu berwarna putih, rumput putih, pohon putih, sungai putih, tempat macam apa ini?
🍁🍁🍁
Maaf, ceritanya gaje.
Salam ThunderCalp!🙌

KAMU SEDANG MEMBACA
Fanfare ( END )
Fiksi IlmiahTrea harus merasakan berbagai kejadian-kejadian di luar pemahamannya. Semuanya terkuak satu demi satu sampai akhirnya dia menerima fakta bahwa dia adalah Sioner. Hidup dalam pengejaran dan diburu. Bahkan dia tak tahu dunia apa yang menantinya nanti...