"Syukurlah kamu selamat!" Pekik Rexa memeluk diriku. Pelukan yang diberikannya hangat dan nyaman. Perlahan kulepaskan pelukannya dan tersenyum hambar. Perasaan kecewa menjalar dihatiku, dimana mereka saat aku membutuhkan bantuan? Dimana mereka saat aku dalam bahaya?
Dadaku sesak ingin menangis, melihat wajah datar mereka tanpa perasaan bersalah. Hanya Rexa yang khawatir kepadaku. Apakah cuma dia? Aku tertawa menyadarinya. Apakah nyawaku hanya sebesar butiran pasir? Nyatanya memang iya.
"Bagaimana keadaan luar?" Tanya Master G yang tak kuharapkan. Bahkan dia mengabaikanku dan memilih bertanya pertanyaan lain.
"Eh, bagus. Tentu bagus, ledakan, tembakan, asap... Juga darah!" Kataku bergetar.
"D-darah?" Bion menatapku horor.
"Bagus bukan?" Aku kembali tertawa kecil.
"Trea!" Dion datang ingin mengapaiku. Refleks kaki ku mundur menjaga jarak dengannya.
"Hah, kukira aku akan mati tadi. Merasakan sakitnya peluru menusuk jantungku. Pasti menyenangkan!" Kutatap langit-langit Pusat Pengetahuan.
"Trea, kami-"
"Heh, aku hampir tertangkap. Haha..." Kupotong perkataan Dion. Aku tahu dia ingin menjelaskan kenapa mereka meninggalkan ku sendiri.
Tapi, untuk sekarang aku masih ingin merasakan perasaan kecewa pada mereka. Kulempar tongkat digenggamanku ke arah Master G. Dia gesit menangkapnya, dia hebat! Aku kembali tertawa, dia hebat meninggalkan anggotanya. Ketua apa? Tanggung jawab apa? Aku lelah bersembunyi tanpa kepastian. Aku lelah!
Kakiku melangkah mundur dan berbalik pergi menyelusup kerumunan orang. Tanpa menoleh atau berbalik. Setetes air mata lolos dari mataku.
🍁🍁🍁
Jika aku boleh memilih hari ini lebih baik diriku diam di kamar Rexa. Mengurung diri dan merenung sebab mereka pergi tanpa diriku. Kutekuk lututku memberikan kehangatan pada tubuhku. Luka jatuhku masih terbuka, lebih dari itu hatiku jauh terluka dan perih. Aku tahu baru mengenal mereka, aku sangat tahu.
"Bisa aku duduk?"
"Silahkan." Kugeser tubuhku merapat ke dinding.
"Sikumu berdarah! Kemari kan tanganmu!" Perintahnya menarik tanganku.
Dia berdecak kesal dan mengobati sikuku menggunakan gel lengket. Pelan dia mengusapnya dan mengoleskannya juga dilututku. Aku terima perlakukan baiknya, karena aku tahu menolakpun sia-sia. Dia tetap akan memaksa dan justru marah besar. Dinginnya gel sedikit demi sedikit menghilangkan perih dan luka.
"Apa kamu sudah makan?" Tanyanya.
"Aku kenyang." Jujur makan hati buatku bisa mengenyangkan perutku.
"Wajahmu pucat! Ayo!" Dia menariku berdiri dan menyeretku bak kucing.
Kami berjalan melewati lapangan dekat danau, orang-orang kembali ke rumah dan membenahi rumah mereka. Terkadang ceceran darah kering menghiasi jalan atau tembok. Berita palsu Demoter bekerja sempurna, pihak Redland tidak lah curiga. Semuanya kembali normal sedia kala. Aku sempat melihat Rew, Rocky, dan Riku membersihkan jalanan. Mereka senang dan gembira mengerjakan pekerjaan itu.
Aku dan El masuk ke dalam salah satu rumah mungil berwarna orange. Papan depan menunjukan bahwa rumah yang kami masuki adalah rumah makan. Di dalam kulihat orang-orang sibuk makan. Mereka seperti terbiasa akan kejadian tadi. Bagai peristiwa yang terus terulang.
![](https://img.wattpad.com/cover/138439247-288-k943925.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fanfare ( END )
Science FictionTrea harus merasakan berbagai kejadian-kejadian di luar pemahamannya. Semuanya terkuak satu demi satu sampai akhirnya dia menerima fakta bahwa dia adalah Sioner. Hidup dalam pengejaran dan diburu. Bahkan dia tak tahu dunia apa yang menantinya nanti...