"Aku takut!" Kugigit bibirku. Master G hanya sampai melatihku terbiasa dengan suara dan kecepatan tembakan. Setiap aku menembak tubuhku belum bisa mengimbanginya, kadang jatuh atau oleng. Tapi...
Tembakanku selalu tepat sasaran, aneh kan. Saat tubuhku menolak justru hal lain terjadi. Master G bahkan tidak mengatakan semuanya wajar. Dia diam saja dengan wajah datarnya. Setiap kali seperti itu aku mengulangi lagi sampai tubuhku lumayan bisa bertahan. Senjata yang kupilih sama, karena jika aku memilih lainnya kemungkinan kegagalan lebih besar dari pada keberhasilan.
"Aku juga awalnya." Master G menaruh senapannya di rak khusus.
"Master juga pernah takut?"
Masalahnya wajah Master G sudah garang dan tanpa kenal rasa takut sedikitpun. Kukira umurnya awal 30 tahun ternyata masih 24 tahun. Wajahnya terlihat tua dari umurnya. Banyak goresan kecil diwajahnya yang kuanggap bahwa dia hidup keras. Tulang pipinya tegas dan sorot matanya dingin. Aku cukup yakin dia orang terberani dan terkuat di Sioner makanya Master G menjadi ketua bukan karena dia orang pertama.
"Kamu tahu dulu aku diculik Demoter, aku takut saat itu. Kamu beruntung bertemu kami lebih dulu sebelum Demoter." Master G mengusap para senjatanya dengan kain.
"Maaf." Cicitku takut-takut.
"Itu masa lalu, kita harus berpikir ke depan. Masa-masa itu menjadikan ku kuat, kamu juga harus melakukannya!"
"Baik, master." Tanganku membentuk hormat layaknya prajurit siap perang.
Dia terkekeh melihatku, suara tawanya cukup untuk aku merasa senang. Setidaknya aku biasa menghibur master dalam suasana kurang bersahabat selaman ini. Dia meletakkan semua peralatan untuk membersihkan senjata. Tubuhnya berbalik dan menatapku.
"Aku punya metode bagus untukmu!"
🍁🍁🍁
"Arght..."
Keringat membanjiri pelipisku, setengah jam aku harus berkutat dengan ban yang melingkar dibadanku. Ditambah dua ban lagi yang diikat dibelakang yang harus kutarik dipinggang. Jalanan yang kulalui lebih parah lagi sebab Master G memerintahkanku ke bukit bintang. Bukit tertinggi di Redland.
Butuh 1.5 jam bila menggunakan mobil dan 3 jam bila berjalan kaki. Aku baru seperempat jalan dan jika kuhitung aku akan sampai saat malam. Aku bisa menyelesaikannya walau dalam waktu yang lama. Sekalipun jalannya menanjak itu bukanlah rintangan yang berarti. Di depan sana masih ada rintangan lainnya lebih dari sekadar tanjankan.
Kawasan permukiman mulai berubah menjadi hutan belantara. Hawa hangat yang ditawarkan Redland tidak terasa di hutan. Cuma hawa dingin yang tidak bersahabat. Sinar matahari belum cukup kuat menerobos dedaunan. Dibeberapa titik, gelap adalah pemandangan terbanyak. Sayangnya aku takut gelap dan hutan. Dulu waktu SMP aku sempat tersesat dengan satu reguku. Kami bersama tersesat selama dua jam di hutan. Bahkan kami sempat bertemu hewan liar khususnya ular.
Sebab itulah, aku memiliki trauma tersendiri memasuki hutan. Aku takut hutan Redland jauh lebih ganas dan mematikan dari dugaanku. Bisa saja hewan disini memiliki ukuran lebih besar atau bermutasi aneh. Mungkin saja karena Archi memiliki teknologi yang selalu diimpikan bumiku. Merubah susunan gen pada hewan supaya kuat dan tahan dari virus.
Kakiku berjalan pelan dan sedikit menimbulkan suara bising. Hewan lebih peka indra mereka daripada manusia. Meski indra yang kuat hanya satu, sedangkan manusia memiliki semua indra yang dibutuhkan. Aku sering menonton tv dan menyaksikan manusia jadi hewan. Bukannya menghakimi, lalu apa gunanya manusia diciptakan sempurna bila manusia sendiri yang menghilangkan kata sempurna itu. Mereka memiliki akal melebihi ciptaan lainnya tapi ingin menjadi makhluk yang diciptakan tidak sempurna. Setiap hal punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Aku cukup bangga dengan kemampuan cuci piringku.
Setelah hutan berhasil ku lewati tantanganku adalah tebing di depan mataku. Menuju bukit bintang bisa saja aku berputar. Perintah Master G lah yang menuntutku melewati rintangan yang ada. Apapun harus kuhadapi, begitu juga hidup. Aku hanya perlu mendaki tebing, lalu bukit Beludru. Terdengar mudah padahal nyatanya tebing didepanku curam penuh batuan terjal.
Jika diukur mungkin tingginya menyentuh angka 8 meter lebih. Kupapakan kaki kananku kebatu yang paling besar dan mulai mendaki manual. Kedua tanganku mencengkram kuat batu yang dapat kupegang dan menarik tubuhku serta ban-ban penuh penyiksaan. Setiap langkah dapat berbahaya bila aku tidak hati-hati.
"Auww..." Sikuku nyeri tertusuk duri entah dari mana. Kepalaku menggeleng cepat, fokus. Kutarik tubuhku sekuat tenaga, sulit memang dengan tubuh memakai ban dan dua ban di belakang yang kadang tersangkut batu atau kayu. Aku punya rencana besar setelah ini untuk membalas Master G. Dia kejam melebihi El!
Satu tarikan lagi, tubuhku mencapai pucuk tebing. Napas menderu kelelahan, perjuangan pertamaku mendaki tebing tanpa alat bantu atau keselamatan. Aku tertawa tahu bahwa selama aku di bumi hal ini paling kuhindari. Terlalu berbahaya! Sedangkan hari ini aku berhasil, mengejutkan sekaligus mengasikkan. Boleh kucoba nanti di sekolah.
Duri-duri kecil tertancap di seluruh tubuhku. Kucabut satu-persatu menahan sakit. Mataku menyapu sekeliling, sepi. Aku sendirian disini, jam tanganku menunjukan arah barat yang kuharus ambil. Bukan kompas melainkan jam tangan seribu manfaat buatan Bion. Aku mendapatkannya baru tadi. Sangat bermanfaat, aku berdiri dan berjalan ke arah barat menuju matahari terbenam.
Menuju Barat aku akan bertemu bukit Beludru. Bukit yang katanya menyimpan keindahan. Aku senang mendengarnya dari kata Dion. Dia menerangkan setiap tempat yang harus kulalui. Semangatku berkobar penuh ke optimisan. Tunggu saja aku disana menikmati keindahan itu.
"Hm, bagus!"
Pasal pertama dalam Sioner, jangan mudah percaya. Dion salah besar, keindahan yang dia maksud adalah keindahan padang pasir. Anomali teraneh, pasir diatas pegunungan. Diujung sana aku dapat bertemu bukit bintang. Keringat ku mengucur deras, panas. Padang pasir dihadapan ku sangat panas. Tanganku mengikat sapu tangan menutupi hidungku. Debu pasir dapat mengganggu penciuman dan penglihatanku.
"Uhuk..." Tenggorokanku sakit secara tiba-tiba. Mungkin efek kurang minum kurasakan sekarang. Ban dibelakangku semakin berat dihadang berjuta-juta kilo pasir. Apa benar pegunungan bisa sekering ini? Matahari semakin condong ke barat, arahku benar. Butuh setengah jam lagi aku akan sampai.
Berjalan terus ke depan adalah motivasi utamaku. Aku bisa melewatinya sejauh ini sebab faktor keberuntungan. Aku kembali tertawa, aku bisa ikut organisasi pencinta alam nantinya. Tidak, aku butuh organisasi yang bisa menghasilkan uang untuk sekolah. Boleh bilang aku perempaun matre, semua hal butuh uang. Akan tetapi matreku adalah untuk masa depanku nantinya bukan sekadar kenikmatan semu yang ditawarkan.
Gukk... Gukk...
Dibelakangku suara anjing menggonggong keras sekali. Saat berbalik benar adanya seekor anjing besar berwarna hitam melihatku dengan tatapan lapar. Waktunya makan malam rupanya, satu fobiaku lainnya.
Anjing.
🍁🍁🍁
Lama nggak update! Semoga masih ada yang baca cerita ini. Terimakasih, telah mampir.Salam ThunderClap!🤗

KAMU SEDANG MEMBACA
Fanfare ( END )
Science FictionTrea harus merasakan berbagai kejadian-kejadian di luar pemahamannya. Semuanya terkuak satu demi satu sampai akhirnya dia menerima fakta bahwa dia adalah Sioner. Hidup dalam pengejaran dan diburu. Bahkan dia tak tahu dunia apa yang menantinya nanti...