Dua orang itu, pria dan wanita yang kutaksir sama dengan umur Master G. Baju mereka hampir sama warnanya, merah, orange, dan kuning. Mereka sangat tinggi dengan kaki mereka yang panjang. Pakaian mereka mirip pakaian hawai yang pernah kulihat di situs internet. Lucunya sebuah kaca mata bertengger di hidung mancung mereka. Kaca matanya berbentuk bulat besar berwarna hitam. Kuyakin mereka artis di daerah ini.
"Oh, mereka teman kami, Rexa dan Rio." El melepas tangannya dan membantuku untuk duduk. Sebenarnya aku sangat sehat dengan dua kaki kokohku. Dua orang yang bernama Rexa dan Rio sedikit membungkuk.
"Kamu pingsan hampir 4 jam, tubuhmu syok dan dehidrasi. Berkat mereka kita selamat dari Demoter, kita aman disini." Ucapan Dion membuatku sedikit kaget. Pasalnya baru beberapa detik yang lalu aku pingsan dan terbangun. Empat jam bukan waktu yang cepat untuk pingsan cuma karena syok atau dehidrasi semata.
"Jika kamu lebih baik, turunlah kebawah kita akan makan bersama." Rexa dan Rio kembali membungkuk. Mereka pergi begitu anggun dan gagah layaknya pangeran putri kerajaan.
Kucermati setiap detail kamar yang kutempati, warna dinding merah bata dicampur warna kuning bersinar. Banyak barang aneh yang dipajang di dinding kamar. Patung berbentuk hewan berkepala singa bertubuh kuda bersayap, kepala rusa bertanduk, beruang coklat besar, dan banyak patung hewan lainnya. Namun, ada yang menyita perhatianku figura burung api sepasang. Jika tidak salah namanya phoenix.
"Apa kalian ada yang terluka?" Tanyaku memastikan.
"Tidak! Kami laki-laki kuat, apa kamu masih pusing atau ada yang bisa aku bantu untukmu?" Bion berlari kearah kananku dan duduk ditepi ranjang.
"Benarkah, tapi aku melihat darah sebelum aku pingsan." Mataku masih normal melihat cipratan darah kental berbau anyir.
"Kamu hanya berhalusinasi, lihat kami. Kami baik-baik saja, istirahatlah." Master G berlalu diikuti Dion dibelakangnya.
Bion dan El masih setia ditepi ranjangku. Aku yakin mataku masih berfungsi dengan baik. Ada darah, aku melihat darah. Jika mereka baik lalu darah siapa yang kulihat tadi. Dadaku sesak mengingatnya, aku takut mereka menyembunyikan sesuatu dariku.
"Apa kamu benar-benar melihatnya?" Mata Bion mengerjap. Dari kami dia paling ingin tahu dan lebih kekanakan.
"Bion! Pergilah, biarkan Trea istirahat." Usir El disebelahku.
"Ta-"
"Pergi!"
Wajah Bion menunduk dan berdiri pergi. Tidak seharusnya El bersikap kasar pada Bion yang notabene masih kekanakan. Aku bukannya ingin dia manja, tapi caranya terlalu kasar. Mulutku juga terkunci, perkataan El adalah kemutlakan. Saranku atau ucapanku tidak akan dikubrisnya secuilpun.
"Istirahatlah!" El menepuk kepalaku pelan. Senyum mengembang diwajah datarnya, ingin kumemiliki kakak sepertinya. Walau dingin dia menjaga dan mengayomi. Bolehkah?
🍁🍁🍁
"Kamu menyukainya?" Rexa memberiku banyak daging. Katanya tubuhku terlalu kurus dan kurang berotot. Otomatis ku pikir dia menyidirku bahwa aku lemah. Itu benar, memang benar adanya.
"Ya, terimakasih." Makanan disini mirip dengan makanan dibumi. Aku ketagihan makanan dari bahan daging berbalut saus merah pedas manis. Mungkin rasanya mirip rendang, bahkan bentuk dan aromanya mirip.
Hanya aku dan Rexa dimeja makan, sebab para lelaki pergi kesuatu tempat. Kata Rexa lagi itu rahasia lelaki. Sebenarnya untuk apa aku disini jika pada akhirnya aku tidak diajak. Aku sudah mengakui diriku Sioner, aku akan menerimanya dan mengembalikan hidup normalku. Setelah Demoter mengembalikannya aku akan hidup aman bersama keluarga kecilku.
"Mau jalan-jalan?" Ajak Rexa langsung kepalaku menggangguk setuju.
Selesai makan Rexa memberiku pakaian. Tubuhku juga butuh penyegaran dan baju ganti. Sama dengan Whiteland, mereka punya kamar mandi canggih dan mesin cuci kilatnya. Baju ditubuhku pas, celana orange sepertiga ditambah atasan merah panjang longgar. Kulihat pantulan diriku dicermin, wajah seorang gadis memiliki rambut singa. Tanganku menyisir rambutku dan mengikatnya.
Rexa memanggilku dari bawah, dia pasti menunggu lama. Kakiku menuruni anak tangga satu persatu, dia tampil cantik. Pakaian kami hampir sama kecuali rambut merahnya. Rambut hitamku kontras dengannya, apalagi tinggi kami. Tinggiku cuma sebahunya, aku amat mungil didekatnya bak model papan atas.
"Kamu cantik, ayo." Rexa memgandengku. Dia gadis ceria penuh semangat dan keberanian. Wajah kuning langsatnya cerah selalu.
"Kita mau kemana?" Tanyaku keluar dari rumah.
Mataku terbelalak kaget, didepanku rumah berjajar rapi. Berbentuk layaknya perumahan elit, didepan setiap rumah diberi taman kecil. Orang-orang berlalu lalang saling menyapa, ramah sekali pikirku. Disini berbeda di Whiteland, ada banyak warna. Cuma terdapat persamaan dari mereka yaitu rambut mereka merah menyala. Jangan lupa mata mereka yang juga merah.
Rexa menarikku agar mengikutinya pergi entah kemana. Semua orang melihatku, aku bukannya punya rasa percaya diri tinggi. Pasalnya setiap Rexa bertemu seseorang dia menyapa dan memperkenalkanku. Rambutku juga menjadi perhatian utama mereka. Hitam legam berantakan, pasti menijikan dan dianggap jorok oleh mereka.
"Rexa!"
Kepala Rexa celingak-celinguk, dia nampak mencari seorang yang memanggilnya barusan. Seorang pemuda datang sembari berlari. Ditangannya sebuah pedang berwarna perak berkilau terang. Memancarkan aura cerah di mataku. Mereka saling menyapa dan melalukan ritual sapaan. Saling membungkuk dan jabatan panjang. Pemuda itu berpindah kepadaku, dia membungkuk. Refleks tubuhku ikut membungkuk mengikuti caranya.
"Kamu bersama El?" Tanyanya.
"Ya." Wajahnya lebih sumringah dari yang tadi.
"Bagus!" Pemuda itu menarik tanganku erat. Kulihat Rexa yang mengibaskan tangannya, dia tersenyum. Siapa pemuda berambut merah ini?
"Siapa kamu?" Susah sekali mengikuti langkah lebarnya. Kakiku hampir tersandung batu karena pemuda ini.
Dia diam dan masih menarikku, kucoba melepaskan tangannya dari tanganku. Dia begitu kuat sampai pergerakanku tak dapat mengusiknya. Pemuda itu berhenti dan berbalik memghadapku. Dari dekat mata merahnya menyala bagai kobaran api ditengah siang. Diikuti rambut merahnya tertiup angin. Aku sedikit terpana keajaiban ini, bukannya terpana pada ketampanannya. Bagaimana cara manusia memiliki rambut merah alami dengan mata merah? Aku kagum cara kerja galaksi ini, mereka berbeda tapi itulah istimewa mereka.
"Aku Ryan, teman El. Katanya aku harus membawamu ke pusat pengetahuan bertemu Tuan Ruv. Ayo!" Dia membungkuk dan memberiku jalan.
Didepanku sebuah gedung mewah berdiri indah. Bentuknya mirip kobaran api berwarna merah terang. Dikanan kiri pintu masuk terdapat patung burung phoenix. Kesimpulanku adalah dia memperintahku untuk masuk sesuai perkataan Jo. Lalu dirinya tidak masuk.begitu dan siapa Tuan Ruv?
"Masuklah, dia menunggumu." Ryan masih membungkuk. Kugigit bibirku gelisah, aku masuk sembari meremas ujung bajuku gugup.
Pintu berdecit dan terbuka sendiri. Kakiku melangkah masuk dalam sekejap pintu tertutup kembali. Dapat kulihat wajah Ryan tersenyum sebelum pintu benar-benar tertutup. Kuedarkan pandanganku mengamati keajaiban lagi. Pusat pengetahuan... Perpustakaan.
🍁🍁🍁
Salam ThunderCalp!🤗

KAMU SEDANG MEMBACA
Fanfare ( END )
Bilim KurguTrea harus merasakan berbagai kejadian-kejadian di luar pemahamannya. Semuanya terkuak satu demi satu sampai akhirnya dia menerima fakta bahwa dia adalah Sioner. Hidup dalam pengejaran dan diburu. Bahkan dia tak tahu dunia apa yang menantinya nanti...