"Chef, apa itu Whiteland? Dimana kita?" Aku butuh penjelasan logis.
Apa yang kualami bukanlah sesuatu yang dapat kutangkap dengan pikiran logis. Semuanya tak masuk akal, tempat yang serba putih, potral, ini mirip dongeng pengantar tidur milik anak kecil. Apa tempat ini masih Indonesia? Atau aku hanya pingsan dan ini adalah mimpi?
"Akan kujelaskan saat kita sampai di bangsa Nor. Simpan pertanyaanmu nanti." Chef El sangat fokus ke arah jalan putih.
Anehnya bagaimana mereka mengecat semua benda di sini putih bersih. Aku penasaran sangat! Walau aku tinggal kelas, otakku masih wajar untuk tak menerima fakta ini. Mungkinkah aku masuk ke dalam sebuah negara lain atau bahkan masuk ke dalam dongeng.
Jalan mulai diselimuti pepohonan yang rindang, lagi-lagi putih. Aku mengembuskan napas lelah, aku sangat mengantuk. Benar-benar mengantuk, kami sudah 1 jam perjalanan dan belum sampai di bangsa Nor. Apa juga bangsa itu? Kepalaku ingin pecah memikirkannya.
"Di sini jangan memanggilku dengan Chef! Panggil aku El, itu juga berlaku dengan Dion." Dahiku mengkrinyit bingung, kutatap wajah disampingku yang masih datar.
"Kenapa?" Aku butuh alasan, mereka jauh lebih tua dari umurku. Aku akan tak sopan jika hanya menyebut nama mereka.
"Di sini sudah berbeda dengan Indonesia. Turuti kataku, kamu mengerti?" Dia menatapku sekilas.
"Iya, che- El. Iya El." Aku masih perlu berlatih agar terbiasa nantinya.
"Bagus, dan ikat rambutmu lagi. Kamu terlihat berantakan!" Baru kali ini ada yang menegur penampilanku.
Kulepas ikatan rambutku dan menyisir pelan dengan tangan. Rambutku sebenarnya hanya sepunggung, tapi aku lebih suka mengikatnya agar praktis. Setelah kuanggap rapi, kuikat kuat kembali. Apa di sini cara berpakaian juga berbeda? Pertama kalinya dia menegur akan penampilanku.
Dari tadi aku merasa diperhatikan oleh orang disebelahku. Segera kutengok dan mendapati Chef El yang melihatku dengan intens. Dia terdiam beberapa detik dan kembali fokus menyetir. Apa ada yang salah? Apa wajahku kotor? Kuusap wajahku agar kotoran yang menepel hilang atau setidaknya berkurang.
"Bangunkan Dion, kita hampir sampai." Kepalaku mengangguk. Kuputar badanku dan mengoyangkan kaki Bos Dion.
Matanya mengerjap pelan dan mengucek matanya layaknya anak kecil. Kutahan tawaku, membangunkan orang tidur sangat mengasikan. Bos Dion melihatku dan tersenyum simpul. Wajahnya lesu menandakan bahwa dirinya dalam keadaan lelah.
"Kita hampir sampai?" Tanyanya dengan suara serak.
"Ya, siapkan alatnya. Kita harus cepat sebelum Demoter sadar kita disini." Perintah Chef El.
"Baiklah." Bos Dion langsung menurut tanpa bantahan.
Apa mereka berganti peran? Chef mirip dengan seorang bos yang menyuruh anak buahnya. Dan aku adalah tawanan yang hanya diam menyaksikan tanpa dialog. Mereka punya pekerjaan masing-masing dan aku diselimuti rasa penasaran luar biasa. Akhirnya setelah menunggu 15 menit kami sampai. Mobil berhenti tepat di depan sebuah gerbang besar. Kudapat lihat seseorang datang dengan membawa senjata aneh ditangannya. Berbentuk laras panjang dengan bulatan besar di tengah.
"Ellardo William, Dionel Andreas, dan Bionel Andreas." Chef El mengatakan kepada orang itu.
Bukankah namaku Trea Luvita Praditya. Kapan namaku menjadi Bionel Andreas? Kenapa juga Elang menjadi Ellardo yang terdengar seperti nama orang Eropa. Sebelum aku mengoreksi, Chef El membekap mulutku. Orang itu pergi meninggalkan mobil kami. Kusingkirkan tangannya dari wajahku dan menatapnya marah. Seenaknya mengganti nama orang.
"Itu demi keselamatan kita di sini. Bionel adalah nama adikku, kamu harus punya nama di sini. Jika tidak, kamu akan ditangkap dan dihukum." Bos Dion menjelaskan kepadaku.
Gerbang terbuka dan menampilkan seluruh gedung yang juga putih. Kudapat lihat orang-orang yang serba putih dimana-mana. Rambut putih, pakaian putih, sepatu putih, dan kulit mereka yang juga putih. Yang berwarna hanya mata mereka yang biru sebiru langit.
"Apa mereka tak curiga pada kita?" Tanyaku, seharusnya mereka curiga dengan penampilan kami yang berwarna.
"Dion memasang alat penyamar, dari luar kita sama seperti yang lain. Kamu juga!" Chef El membelokan arah mobil ke samping kiri.
Orang-orang di sini teratur, semuanya putih dan putih. Kuyakin semua baju mereka juga putih. Kulihat Chef El dan Bos Dion, kulit bos mirip mereka sedangkan chef jauh lebih gelap dari mereka dan hampir sama denganku kuning langsat khas masyarakat Indonesia.
"Trea, pakai ini!" Bos Dion memberikan selimut putih yang besar.
"Bungkus badanmu dengan itu, jangan perlihatkan tubuhmu walau hanya sehelai rambutpun!" Peringat Chef El.
Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah, rumahnya besar dengan lambang garuda di depan pintu. Kulepas sabuk pengaman dan membungkus tubuhku dengan selimut. Selimutnya sangat lebar dan berat. Kami keluar didahului Chef El. Mereka juga memakai selimut yang sama sepertiku.
"Amber! Buka pintu!" Suara Bos Dion kepada pintu.
Ajaibnya pintu terbuka sendiri, kami masuk ke dalam. Perabotan serba putih langsung menyambut kami. Aku terkagum-kagum dengan interior rumah yang modern dan indah. Tiba-tiba seorang melompat dari atas dan berdiri tepat di depanku. Aku hanya sebatas dadanya, kepalaku mendongak dan mendapati seorang berpakaian serba putih. Tanganku lemas seketika, tubuhku mematung. Awalnya kukira ada hantu yang berada didepanku.
"Oh, maaf membuatmu terkejut. Wow... Kau..." Dia mundur pelan ke belakang.
Dahiku mengkrinyit, aku baru sadar selimut yang menutup tubuhku sudah tak ada. Pasti karena aku terkejut tadi sampai selimut itu terlepas. Wajah orang itu panik dan sedikit takut. Apa aku semeyeramkan itu? Dia lebih menyeramkan dariku, dia mirip hantu disiang bolong.
"Dia bersama kami!" Chef El membuang selimutnya asal.
"Dimana Master Gerry?" Tanya Bos Dion kepada orang itu.
"Dia sedang pergi, syukurlah itu kalian. Kukira dia penyusup, kenalkan aku Bion." Tangannya terangkat ke atas.
"Hah? Aku Trea, namaku Trea." Untuk apa tangan ke atas seperti itu.
"Haha... Dia lucu sekali, boleh untukku?" Bion sangat bersemangat. Siapa yang lucu yang dia maksud dan untuknya.
"Dia miliku, jangan coba-coba." Chef El berkata sangat dingin dan menekan setiap kata.
"Yah, kumohon satu hari saja. Aku ingin bermain." Bion nampak memohon.
"Trea, atas ada kamar kosong paling pojok. Gunakan kamar itu, kamu lelah bukan." Bos Dion menyentuh bahuku.
Kuanggukan kepalaku, daripada mendengar mereka yang tak kutahu apa maksudnya lebih baik aku istirahat. Kakiku berjalan ke atas melewati beberapa anak tangga. Semuanya indah, benar-benar indah. Kulirik ada 3 pintu dengan ukiran berbeda. Kubuka pintu paling pojok dan mendapati ranjang besar yang menghiasi kamar. Disini memang menakjubkan dengan fasilitas yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
🍁🍁🍁
Maaf, ceritanya gaje🙇
Vote dan komen!
Salam ThunderCalp!🙌
KAMU SEDANG MEMBACA
Fanfare ( END )
Fiksi IlmiahTrea harus merasakan berbagai kejadian-kejadian di luar pemahamannya. Semuanya terkuak satu demi satu sampai akhirnya dia menerima fakta bahwa dia adalah Sioner. Hidup dalam pengejaran dan diburu. Bahkan dia tak tahu dunia apa yang menantinya nanti...