7. Manifestasi takdir

1.9K 138 81
                                    

Banyak orang menghakimi tanpa tahu kenyataan yang sebenarnya
-Struggle
*****

DEVAN melanjukan sepeda motornya membelah jalan raya Ibu kota yang masih ramai lancar di jam-jam seperti ini. Sumpah demi apapun Devan malas sekali harus pulang-pergi dari rumahnya menuju ke sekolah barunya yang memang jaraknya terbilang sangat jauh dari rumahnya. Kalau bukan karena ingat persyaratan dari Ayahnya untuk melanjutkan sekolah dengan benar setelah dibebaskan dari rehabilitasnya itu rasanya Devan tidak ingin bersekolah saja. Percuma. Masa depannya sudah hancur. Dia tidak punya harapan lagi. Bahkan Ayahnya saja sebenarnya tidak pernah mengharapkan apa-apa darinya.

Yang ada di pikiran Ayahnya saat ini hanyalah nama baik. Jika dia membiarkan Devan tidak lanjut sekolah seperti yang Devan inginkan setelah dikeluarkan dari sekolah lamanya bisa-bisa nama baik keluarga besarnya bisa tercoreng. Apa lagi kalau sampai tahu Devan pernah ditahan di kantor polisi karena kasus tawuran yang dia lakukan. Bisa kacau.

Bahkan Pandu sampai harus memberi uang lebih pada pengacaranya dan juga kepolisian agar tidak meriwayatkan surat kelakuan buruk pada Devan. Bisa repot kalau sampai kolega-kolega bisnisnya kalau tahu fakta mengenai anaknya yang satu itu.

   Devan meningkatkan kecepatan sepeda motornya begitu sampai di jalanan sepi menuju ke perumahan tempatnya tinggal sambil berharap kalau di rumahnya tidak ada orang. Namun, begitu pandangannya menangkap sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir di depan rumahnya, dia mendengus kesal. Devan malas sekali kalau harus berhadapan dengan Pandu —Ayahnya— mengapa pula laki-laki itu harus berada di rumah di jam-jam seperti ini? Harusnya dia masih ada di kantor.

"Mas, di dalam sudah ada Bapak." Sambut Pak Tono —security rumahnya— setelah membukakan gerbang besar rumah berlantai dua tersebut.

Devan tidak menjawab dan langsung memasukkan sepeda motor besarnya lalu memarkirkannya di depan garasi. Devan mengalungkan kunci motornya ke arah Pak Tono, Pak Tono dengan sigap menangkap kunci motor itu, "masukin motor gua ke garasi, gua mau istirahat." Suruh Devan pada laki-laki berusia empat puluh tahunan itu.

"Baik, Mas." Pak Tono menyanggupi permintaan anak majikannya itu dan langsung melaksanakan tugas yang diberikan Devan padanya, sementara Devan sudah melenggang pergi dan masuk ke dalam rumahnya.

Hal pertama yang dilihat Devan begitu masuk ke dalam rumahnya adalah sesosok laki-laki paruh baya dengan setelan jas dan kacamata minus yang masih berada di antara batang hidung mancungnya. Sepertinya dia baru sampai belum lama ini. Begitu tebakkan Devan sekenanya. Devan yang seperti tidak peduli dengan keberadaan laki-laki itu, lantas dengan santai berjalan hendak menuju tangga rumahnya untuk langsung masuk ke dalam kamarnya. Namun langkahnya terhenti begitu mendengar suara bass khas dari mulut laki-laki paruh baya yang kini menatapnya sambil bercak pinggang.

"Devan! Apa kamu tidak lihat Papa ada di sini?" Tanya laki-laki itu sambil menatap nyalang ke arah pemuda yang baru saja menjejaki kakinya di anak tangga ketiga lantai rumahnya.

"Lihat ko." Jawab Devan datar.

Laki-laki itu lantas menghembuskan napas gusar karena kelakuan putra bungsunya itu yang sama sekali tidak menghargainya, "lantas, kenapa kamu langsung naik tangga? Tidak salam, tidak ada sapa. Di mana sopan santunmu dengan orang tua yang sudah membiayai kamu hidup selama ini." Tukas Pandu Adikusumo Pradipta yang sontak membuat Devan mendecakkan lidahnya kesal.

"Kalau udah gak mau biayain hidup saya lagi ya udah, keluarin aja saya dari sekolah itu lalu usir saya dari rumah, biar jadi gembel saya sekalian." Jawab Devan ketus.

"Sudah cukup Devan! Mau sampai kapan kamu terus membangkang Papa?! Jangan bikin orang tua tambah stres. Di rumah ini cuma kamu yang tidak mau dengar apa yang Papa bilang." Bentak Pandu mulai emosi. Dia memang selalu mudah terpancing emosi tiap kali berhadapan dengan putranya yang satu ini. Benar-benar keras kepala, pembangkang, susah diatur dan semaunya sendiri. Pandu sudah hampir menyerah dengan semua usahanya yang ingin memperbaiki karakter Devan yang seperti ini.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang