55. Try to Fix It

805 44 9
                                    

Rindu menjelma mejadi kebisuan. Saat senja berlari menjauh, ombak baru sadar kalau sebenarnya
senja adalah sebaik-baiknya tempat untuk pulang.
-Struggle
******

SETELAH makan malam, Alatha langsung pamit untuk kembali ke kamarnya dengan alasan ingin belajar. Malam ini dia hanya makan sedikit sayuran dengan sedikit nasi saja. Sama sekali dia tidak napsu makan sejak kejadian dia bertemu dengan Devan di sekolah tadi. Sepanjang makan malam tadi juga Alatha mendadak jadi sedikit pendiam. Biasanya dia selalu ramai bercerita ini dan itu. Tadi dia juga sempat ditegur oleh Ibunya karena melihat wajah Alatha murung dan kedua matanya sedikit sembab. Tapi Alatha bilang itu karena dia kurang istirahat karena lembur tugas. Memang benar Alatha lembur tugas tapi alasan utamanya adalah karena Devan. Cowok itulah yang membuat Alatha dengan bodohnya membiarkan air matanya teurai deras.

Alatha melangkahkan kakinya gontai menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Kemudian mengurung diri di kamar. Pikirannya melayang entah ke mana. Perkataan Devan tadi benar-benar mengusik ketenangan jiwa dan batinnya. Alatha benar-benar patah pengharapan sekarang. Dia tidak tahu akan jadi apa hubungan Devan dengan dirinya setelah ini. Padahal belum lama ini mereka masih baik-baik saja, tapi sekarang keadaan berbalik dengan begitu cepatnya.

Alatha merebahkan tubuhnya ke atas ranjang sambil menatap langit-langit kamarnya. Kini Alatha sadar kalau satu-satunya yang bisa memperbaiki semua ini adalah dirinya. Dia yang telah memulai maka hanya dia yang mampu mengakhiri. Tapi dia harus mulai dari mana? Dia bingung ingin menjelaskan apa pada Devan supaya mereka bisa kembali seperti dulu.

Gua janji gua gak akan ganggu lo lagi.

"Hmmhhh-" Alatha menutup wajahnya menggunakan boneka teddy bear besarnya ketika kata-kata itu kembali terngiang di telinganya. Sungguh Alatha benar-benar benci Devan berkata seperti tadi. Perkataan itu selalu saja menjadi pemicu air mata Alatha kembali keluar dari tempatnya.

Tadi, seharian penuh Alatha menahan diri sebisa mungkin untuk tidak menangis, tapi tetap saja gagal. Saat ditanya teman-temannya Alatha hanya bisa jawab kalau sakit magh-nya kambuh dan rasanya sakit luar biasa. Walaupun itu memang salah satu faktanya tapi dia lakukan itu hanya untuk mengalihkan kenyataan yang sebenarnya. Akhirnya karena hal itu teman-teman Alatha membantu Alatha untuk meminta izin pada guru untuk membawa Alatha ke UKS dan sampai kini Alatha belum cerita apa yang sebarnya terjadi dengannya kepada teman-temannya.

Alatha bergeming beberapa saat kemudian menatap kembali langit-langit kamarnya. Selang beberapa saat kemudian, tangannya bergerak mengambil ponsel miliknya yang ada di atas nakas. Alatha menghembuskan napas berat. Tidak ada satupun pesan masuk di sana. Sejak kejadian itu Devan memang sudah tidak pernah menghubunginya lagi.

Sama persis dengan kejadian yang sebelumnya pernah terjadi. Hanya saja kali ini sepertinya lebih parah. Kalau sudah begini, Alatha jadi berpikir apa sebaiknya dia memang harus menjelaskan semua ini pada Devan? Mengenai alasan mengapa dia belum bisa menjawab perasaan Devan sebelum semuanya terlambat. Walaupun tahu kalau Devan tidak mau mendengar, tapi Alatha harus mencoba sekali lagi. Mungkin saja Devan masih mau memberinya kesempatan.

Alatha sungguh tidak mau lagi memikirkan tentang masalah lain termasuk masalahnya dengan Nadin, yang dia inginkan sekarang adalah supaya dia dan juga Devan bisa kembali seperti dulu lagi. Terdengar egois, terdengar bukan seperti Alatha. Tapi inilah yang hatinya inginkan. "Apa sebaiknya gue telepon aja kali ya?" Alatha kembali bermonolog, ditatapnya layar ponselnya yang menampilkan akun line milik Devan selama beberapa saat.

Alatha bangun dari posisinya yang sebelumnya berbaring di ranjang menjadi posisi duduk di atas ranjangnya. Ibu jarinya sudah bersiap untuk menekan tombol freecall di sana, namun Alatha seperti tidak dapat menggerakkan tangannya. Ragu kembali membelenggu. Kedua bola mata indah miliknya masih menatap layar ponsel itu.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang