6. Adaptabilitas

2.2K 163 116
                                    

Takdir selalu melunturkan ekspetasi. Percayalah.
-Struggle
*****

    ALATHA buru-buru melangkahkan kakinya menaiki anak tangga untuk segera sampai ke kelasnya begitu bel pulang sekolah berbunyi. Dia seperti ini karena dia sama sekali tidak ingin warga sekolah yang lain melihat peristiwa dia dihukum berduaan dengan anak baru itu. Bukannya apa-apa tapi Alatha sudah tahu jelas bagaimana tabiat anak-anak di sekolahnya ini. Semua pasti akan langsung menjudge Alatha yang tidak-tidak kalau sampai ketahuan dihukum, apalagi bareng anak baru itu. Mungkin sekolahnya ini bisa dibilang sebagai sarang. Sarang tempat berkumpulnya orang-orang yang suka gosipin kejelekan orang lain hanya dari sudut pandangnya saja.

Tidak ada alasan kuat untuk menghakimi, apapun yang dilihat mata itulah realitanya. Manusia kadang sebodoh itu dalam mengklaim sesuatu sebagai bentuk realita, realita yang sebenarnya hanyalah sebuah hipotesis belaka.

   "Aduh maaf, maaf gak sengaja." Alatha meminta maaf pada salah satu siswi yang tidak sengaja dia tabrak ketika hendak naik ke tangga lantai tiga menuju kelasnya.

  Aneh memang, ketika semua orang berbondong-bondong untuk turun ke bawah Alatha malah bergerak melawan arus untuk menuju ke kelasnya. Ya habisnya mau bagaimana lagi? Dia memang harus kembali ke kelasnya. Tasnya masih ada di sana, dan Alatha yakin teman-temannya juga masih disana menunggunya. Mereka pasti bertanya-tanya mengapa dirinya pergi sampai selama ini. Dan ketika itu juga mereka pasti akan berpendapat kalau Alatha benar-benar kena hukum Bu Feranda. Ya, memang itulah yang terjadi.

  Cklek..

Alatha membuka pintu kelasnya mendapati ketiga temannya memang benar-benar masih ada di dalam kelas. Alatha berjalan menuju ke arah mejanya dengan napas terengah-engah karena terlalu lelah berlari setelah dihukum selama hampir satu jam pelajaran berdiri di depan tiang bendera. "Hai, kalian.. belum pada pulang?" Sapa Alatha tersegal-segal.

Dia meresleting tas ranselnya dan segera menyampirkan tas miliknya itu ke punggungnya. Alatha bersyukur memiliki teman-teman yang perhatian. Baik banget, sampai-sampai semua alat tulis yang tadi berserakan ketika Alatha tinggal kini sudah rapih dan dimasukkan semua ke dalam tas.

  "Tha, lo dari mana aja sih? Kok lama banget?" Nela mulai merengek cemas, "jangan bilang tadi lo beneran dihukum sama Bu Feranda?" Tebak Nela yang seratus persen langsung dibalas anggukan kecil Alatha.

   "Jadi lo beneran dihukum, Tha?!" Anna mulai heboh.

   Alatha kembali mengangguk, "iya, ya mau gimana lagi? Udah kejadian juga. Lagian emang gue yang salah sih, gak negur cowok itu waktu dia ngambil sepatu dari lemarinya Bu Feranda. Bu Feranda jadi nyangkanya gue sekongkol gara-gara ngelihat rekaman CCTV di ruangannya." Jelas Alatha.

   "Astaga Alatha, lagian sih lo jadi orang terlalu polos, harusnya lo gak salah jadi ikutan salah kan." Anna menambahi.

   "Ya udah lah gak usah dibahas lagi, udah terjadi ini." Kata Alatha, "gue mau langsung balik ya, mumpung hari ini gak ada OSIS." Tukas Alatha.

   "Yah? Lo mau balik, Tha? Padahal kita-kita baru aja mau ngajakin nonton." Kata Nela.

    "Sekarang? Aduh entar-entar aja deh, gue males banget sumpah. Belum lagi nanti harus izin ke bokap gue dulu, kalau tau gue mau nonton dadakan gini pasti gak akan diizinin." Kata Alatha.

   "Ah, ayolah Tha? Kapan lagi kita nonton full team? Mumpung si Nadin juga bisa tuh tumbenan, yaa?" Anna kembali merayu.

   "Gak bisa Ann beneran deh, lo mau gue kena omel gara-gara nonton terus telat pulang?" Pertanyaan Alatha lebih bisa disebut pernyataan.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang