19. Abis Berantem

1.6K 82 40
                                    

Apa untungnya berantem? Kalah jadi abu menang jadi arang.
-Struggle
******

   DEVAN sedang berada di rooftop sekarang. Kembali dengan dunianya lagi. Hari ini benar-benar hari keberuntungannya. Guru sejarah tidak masuk di jam pelajaran pertama dan sekarang kelasnya kembali kosong karena guru-guru ada rapat dadakan sampai jam istirahat selesai nanti. Benar-benar surga dunia bagi Devan bisa berlama-lama berada di tempat ini tanpa jadi buronan guru atau gangguan suara bising di dalam kelasnya saat ini. Devan tidak menyukai kebisingan. Dia suka tenang. Sepi. Itu yang membuat dirinya merasa damai. Kalau berisik Devan jadi tidak bisa berpikir jernih. Dia termasuk orang yang mudah sekali merasa penat. Devan kembali mengeluarkan bungkus rokok dari saku jaket parkanya kemudian dinyalakannya lalu dinikmatinya.

Devan bukan perokok aktif. Dia hanya merokok di waktu-waktu senggang atau ketika dia sedang bosan, seperti sekarang ini. Satu hari Devan paling banyak menghabiskan satu bungkus rokok, itu juga sharing dengan teman-temannya yang lain. Di antara yang lainnya Bondan dan Gilang lah yang bisa dibilang perokok aktif karena dalam sehari mereka bisa menghabiskan tiga sampai empat bungkus rokok sendirian. Gila!

Seiring dengan hembusan asap rokok yang tadi dihembuskannya hilang tertiup angin, pikiran Devan melayang kembali kepada Alatha. Entah mengapa akhir-akhir ini gadis itu selalu muncul di pikirannya. Apalagi setelah kejadian dia mencium gadis itu di kantin kemarin siang. Boleh dibilang Devan kelewat nekat berani-beraninya mencium bibir gadis itu tepat di depan semua orang. Entah apa yang ada di pikiran Devan saat itu. Yang jelas dia hanya gemas.

  Gemas karena wajah Alatha memang begitu menggemaskan ketika sedang menuduhnya. Hampir ingin menangis. Hanya karena hal sepele yang sama sekali tidak Devan lakukan. Itu sebabnya Devan, di luar kesadarannya melakukan hal brengsek itu padanya.

"Ck, ngapain gua jadi mikirin cewek aneh itu terus sih!" Rutuk Devan pada dirinya sendiri. Devan tidak menyadari kalau dirinya akhir-akhir ini jadi sering senyum-senyum sendiri seperti orang gila.

  Belum pernah dia merasakan yang seperti ini sebelumnya. Devan belum pernah merasakan cinta sebelumnya. Baginya cinta itu ilusi. Tidak nyata. Buktinya selama ini Devan tidak pernah merasakan cinta. Dia tidak pernah mencintai siapapun selain Ibunya. Walaupun fakta yang dia ketahui akhir-akhir ini kalau Ibunya itu bukan Ibu kandungnya, atau walaupun Ibunya terlihat tidak pernah menyayanginya seperti halnya dia menyayangi Kakaknya, setidaknya Devan selalu mencintainya. Baginya Ibunya adalah tempatnya untuk pulang.

   Kalau saja waktu itu Devan tidak pergi dari rumah, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Ibunya tidak akan mengalami kecelakan tragis yang menyebabkan dirinya koma selama
setahun. Tapi Devan memang harus melakukan itu, Devan sudah terlanjur kecewa dengan kebenaran yang telah dia ketahui saat itu. Selama ini orang tuanya telah menyembunyikan kebohongan besar. Kebohongan tentang statusnya yang ternyata bukanlah anak kandung dari kedua orang tuanya. Itu sebabnya Devan pergi. Devan kecewa karena merasa dirinya tidak mendapat keadilan. Takdir memang selalu susah untuk ditebak. Seperti halnya labirin, hidup juga sulit untuk ditaklukan kalau hanya mengandalkan kekuatan manusia.

"DEVAN! VAN GAWAT VAN!"

Devan lantas memicingkan matanya begitu melihat seseorang tiba-tiba saja datang dengan raut wajah yang penuh dengan kepanikan. Gilang datang sambil sedikit berlari menuju ke arahnya membuat Devan lantas bangun dari posisinya semula berbaring dan menatap ke arahnya, "ada masalah apa?" Tidak usah dikasih tau, Devan sudah dapat menebak kalau ada hal yang tidak beres yang sedang terjadi dengan temannya yang satu ini.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang