Cinta butuh perjuangan. Tapi berjuang sendirian itu memang sakit.
-Struggle
*****"THA," Anna memanggil nama Alatha ketika melihat gadis itu lagi-lagi melamun menatap kosong meja guru yang ada di depannya. Sudah beberapa hari ini, sejak gadis itu memutuskan untuk menghindar dari Devan dia jadi sering melamun. Teman-temannya sampai khawatir kalau Alatha seperti ini terus tapi mereka juga bingung bagaimana cara untuk menghentikan kebiasaan baru teman mereka yang satu ini. Anna menolehkan kepala ke arah bangku di mana Nela dan Nadin duduk —yaitu di belakang kursinya dan Alatha— kemudian mengangkat kedua bahunya acuh ketika Alatha memilih untuk tidak merespon.
"Alatha!"
Kali ini usaha mereka untuk membuyarkan lamunan Alatha akhirnya berhasil saat Nela kembali memanggil Alatha sambil menepuk punggung gadis itu dengan sedikit keras. "Awh, sakit, Nela! Lo apaan sih?" Alatha menoleh ke belakang merutuk kesakitan sambil mengusap-usap bekas tepukan tangan Nela yang mungkin lebih cocok disebut dengan pukulan daripada tepukan karena rasa nyerinya menjalar sampai ke permukaan kulit paling dalam. Lebay.
"Ya maaf. Abisnya lo bengong mulu dari kemarin, kesambet lo nanti." Kata Nela yang berhasil membuat Alatha mencebik.
"Gue lagi gak mau bercanda, Nel." Ucap Alatha yang kemudian memilih untuk mengeluarkan buku paket biologi dari bukunya kemudian berpura-pura untuk membaca.
Baik Nela, Anna, maupun Nadin saling menatap melihat reaksi Alatha yang terkesan tidak ekpresif dan terkesan datar. Mereka jadi bingung sendiri bagaimana cara supaya bisa membuat Alatha bersemangat seperti biasanya "kenapa lo gak coba buat nata ulang hubungan lo sama Devan aja sih, Tha? Kayaknya gak ada salahnya kalau lo lebih inisiatif dikit buat bujuk bokap lo supaya bisa nerima Devan, Devan gak seiblis itu kali sampai buat bokap lo bener-bener mau misahin lo berdua yang selama ini udah kayak gula sama semut."
Ucapan Nela barusan mampu membuat Alatha langsung kehilangan minatnya untuk membaca buku secara drastis. "Gak bisa, Nel, bokap gue bukan tipe orang yang mudah dibujuk. Gue gak mau memperburuk keadaan dengan cara nentang keputusan bokap gue." Lagi-lagi Alatha kembali menjawab dengan perkataan yang sama dari yang sudah-sudah.
Yang didengar Nela dan teman-temannya lain dari jawaban Alatha adalah terus menerus tentang dirinya yang tidak mau menentang keputusan Brama. Padahal kalau mau usaha sedikit, mungkin Alatha bisa saja membuat hati Brama luluh seperti yang dikatakan Devan padanya kemarin. Kalau dia keberatan untuk melakukannya sendiri, Devan pasti akan dengan senang hati membantunya.
Tapi Alatha malah bersikap defensif dan pasrah dengan keadaan. Dengan begini Alatha malah terlihat seperti marionette yang dimainkan oleh Ayahnya sendiri. Yang akan mengikuti semua gerakan atau arahan yang dilakukan oleh Ayahnya tanpa pernah ada terlintas pemikiran untuk menggunting tali-tali yang membuatnya terikat supaya dirinya bisa menentukan langkahnya sendiri.
"Emang sebelumnya lo udah pernah ngebujuk bokap lo, Tha?" Kali ini gantian Anna yang angkat suara.
Alatha terdiam sebentar lalu menyelipkan anak rambutnya ke belakang daun telinganya. Alatha sama sekali belum pernah melakukan hal itu. Alatha tidak pernah ada pikiran untuk membujuk Brama terkait hal apapun. Alatha takut pada Ayahnya sehingga memilih untuk menurut saja kalau Brama sudah berkata ini dan itu. Atau, mungkin lebih tepatnya bukan karena Alatha takut. Tapi karena Alatha terlalu menghormati Brama sebagai Ayahnya. "Gak pernah." Jawab Alatha singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle
أدب المراهقين[TAMAT] Dia dingin, posesif, sulit ditebak seperti cuaca dan terkesan angkuh. Dunianya begitu abu-abu, sampai akhirnya dia menemukan seseorang yang membuat dunianya menjadi lebih hidup. Alatha. Seorang gadis yang ternyata mampu menaklukan hatinya ya...