80. Penyesalan Tanpa Ujung

442 27 1
                                    

Penyesalan selalu datang belakangan
-Struggle
******

PANDU membalikkan tubuhnya saat tatapan mata Devan tidak juga beralih fokus menatap ke arah belakang tubuhnya. Begitu sadar deng-an apa yang sedari tadi Devan lihat, Pandu lan-tas ikut terkejut saat melihat ternyata di belak-angnya sudah ada Leon yang berdiri mematu-ng di ujung koridor. Leon menatap ke arah mereka berdua-yaitu Pandu dan Devan- dengan pandangan yang sulit diartikan. Leon telah mendengar semua yang dikatakan oleh Pandu kepada Devan sejak awal.

"Leon- kamu sudah kembali?" Kata Pandu mencoba untuk mengalihkan topik pembicara-an. Walaupun merasa kalau Leon juga harus tahu tapi dia masih takut kalau Leon tidak bisa menerima kenyataan yang sebenarnya.

Leon menengguk salivanya. Tenggorokannya terasa tercekat. Dia hanya berharap apa yang baru saja dia dengar sendiri dari Pandu adalah sebuah omong kosong belaka. "Apa benar?" Suara Leon terdengar serak, "apa yang barusan Papa bilang itu semuanya benar?" Tanyanya lagi dengan nada suara yang bergetar.

Pandu melirik Devan sebentar kemudian kembali menatap Leon, "itu-" Pandu menjeda sebentar kata-katanya, mencoba untuk tetap tenang walaupun sebenarnya agak cemas juga kalau dia harus berkata jujur pada Leon. Tapi, sepertinya percuma juga, Leon sudah menden-gar semuanya. Tidak ada lagi yang dapat dia tutup-tutupi sekarang. "Itu semua benar, Leon. Tapi, Papa dan juga Mama melakukan ini semua demi kebaikan kalian berdua." katanya.

Leon menundukkan kepalanya dalam-dalam. Lututnya mendadak lemas. Ternyata selama ini, keluarga yang dia anggap sangat berharga bukan keluarganya kandungnya. Takdir mem-ang jahat, padahal selama ini dia merasa kalau hidupnya sudah sempurna. Tapi ternyata kes-empurnaan itu semu dan terasa sia-sia. "Jadi-" Leon menengguk kembali salivanya dengan susah payah, "jadi orang tua Leon- udah meninggal?" Tanya Leon dengan nada getar pada suaranya yang terdengar jelas.

Pandu menatap Leon penuh simpati, lalu dia perlahan melangkah mendekat ke arah Leon kemudian menepuk pelan pundak pemuda itu dengan tangannya, "Papa minta maaf Leon, Papa juga sangat menyesali kejadian ini. Papa minta maaf karena tidak bisa memberitahukan semua ini pada kamu dan juga Devan sejak awal." Kata Pandu kepada Leon.

Leon bergeming. Cairan hangat yang sedari tadi dia paksa agar tidak keluar, pada akhirnya keluar juga dari tempatnya. Kenyataan ini sungguh tidak adil. Tidak ada yang lebih buruk daripada perasaan yang dia rasakan saat ini. Di sisi lain dia merasa bersyukur karena walau statusnya di keluarga ini hanya sebatas anak angkat, tapi Pandu dan juga Vera sangat amat menyayanginya. Bahkan kasi sayang mereka padanya lebih besar daripada kasih sayang mereka pada Devan, anak kandung mereka sendiri. Tapi di sisi lain, Leon merasakan ada sebagian dari dirinya yang hilang saat mende-ngar bahwa orang tuanya telah meninggal sejak lama. Entah ini mimpi atau kenyataan tapi yang jelas hal ini benar-benar membuat Leon begitu merasa sangat terpukul.

Melihat Leon menangis dalam diam, Pandu akhirnya memeluknya untuk menenangkan-nya, "sekali lagi Papa minta maaf sama kamu." Ucapnya mengusap pundak Leon lamat.

Di sisi lain, Devan menatap ke arah mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. Bukan hanya Leon yang syok dengan kenyataan ini tapi juga dirinya. Andai saja dari awal dia tahu yang sebenarnya, semuanya tidak akan seperti ini. "Kalau aja dulu Papa jujur sama kita berdua soal masalah ini, semua gak akan jadi seperti ini," kata Devan angkat suara, Pandu membalikkan tubuhnya perlahan dan menatap Devan, "sekarang Papa puas? Keluarga kita jadi berantakan seperti ini semua gara-gara-"

"Kamu Devan!" Sentak Pandu tak tertahan-kan lagi. Suaranya terdengar nyaring seantero lorong koridor rumah sakit sampai membuat dua orang perawat yang tadi melintas sempat menoleh beberapa saat ke arah mereka sebelum akhirnya memilih untuk berlalu.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang