64. For the Second Times

727 39 12
                                    

Sekali waktu, tertawalah hingga lupa diri. Biar luka masa lalu terkubur dengan sendirinya.
-Struggle
*****

  PELUH menetes deras membasahi kedua pelipis dua remaja yang kini sedang menjalani hukuman berlari memutari lapangan bola basket sebanyak sepuluh kali putaran. Ini baru putaran ke empat tapi pergerakan Alatha sudah mulai melemah. Tidak semangat seperti yang sebelumnya. Sementara Devan masih terlihat segar bugar. Cowok itu memang rajin berolahraga dan sudah terbiasa berlari saat pemanasan futsal bersama teman-temannya.

  Tidak seperti Alatha, jangankan untuk berlari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh kali, lomba lari jarak pendek saja dia sudah ngos-ngosan. Dia punya riwayat penyakit magh, jadi kalau terlalu lama berlari perutnya akan terasa sangat sakit di bagian lambung.

  "Lo masih kuat?"

   Melihat kecepatan berlari Alatha menurun dan wajah gadis itu terlihat sedikit pucat, Devan yang tadinya sudah hampir melewati Alatha segera menyejajarkan langkahnya di samping gadis itu. Devan sudah berlari hampir sembilan kali putaran sementara Alatha baru mencapai setengahnya.

  Alatha perlahan menoleh, menatap Devan yang juga menatap prihatin ke arahnya lalu menggeleng, "gak— hhh.. apa-apa ko.. saya masih— hhh.. kuat." Kata Alatha dengan napas tersegal-segal kemudian tersenyum.

"Serius? Muka lo pucet gitu." Tanya Devan kemudian. Dia tidak percaya dengan ucapan Alatha barusan karena sangat berbanding balik dengan stamina gadis itu saat ini.

  "Iya— hhh.. serius." Kekeuh Alatha sambil tetap berlari.

  Devan menatap tidak tega Alatha, namun karena Alatha tetap pada pendiriannya, akhirnya Devan tidak dapat berbuat apa-apa lagi. "Ya udah, gua temenin sampai lo selesai lari sepuluh putaran ya?" Ujar Devan.

  Mendengarnya Alatha lantas terkejut, "gak— usahh!" Tukas Alatha, "kamu kan— hhh, sekali lagi udah selesai lari. Saya masih— lima kali putaran lagi." Kata Alatha terbata-bata.

  "Gak apa-apa, gua temenin. Takut nanti lo kenapa-napa." Kata Devan sambil tetap berlari mengikuti Alatha.

"Tapi—"

"Gak terima penolakan." Potong Devan.

Mendengarnya, Alatha hanya bisa menghela napas pasrah dan membiarkan Devan melakukan apa yang ingin dia lakukan.

Selang beberapa menit berlalu, Alatha dan Devan akhirnya berhasil memutari lapangan sebanyak sepuluh kali putaran. Wajah mereka sudah dipenuhi dengan keringat sekarang. Terutama Devan, wajahnya sampai memerah karena terlalu lama berlari ditambah siang ini mataharinya lumayan terik. Tapi tidak masalah baginya, ini semua dia lakukan demi Alatha. Dia tidak mau terjadi apa-apa pada Alatha.

"Duduk di sini aja dulu, istirahat sebentar." Kata Devan menyuruh Alatha untuk duduk di tangga lobi dekat tiang bendera. Alatha mengangguk pelan, sudah kepalang lelah. Sejujurnya sejak tadi dia menahan rasa sakit di bagian lambungnya, namun dia abaikan karena takut akan ribet kalau Devan tahu.

"Lo tunggu sini, gua beli minuman dulu." Katanya kemudian bergegas menuju kantin dengan sedikit berlari.

Alatha menghembuskan napasnya lelah menatap panasnya lapangan saat ini. Tidak disangka tadi dia mampu berlari sampai sepuluh putaran padahal cuacanya sangat tidak memungkinkan. Mungkin karena adanya dukungan dari Devan yang tak hentinya menyemangati dirinya untuk tetap fokus. Cowok itu juga dengan sabarnya berjalan di sisi Alatha sambil terkadang memapahnya ketika Alatha sudah benar-benar merasa kedua kakinya sangat lelah. Alatha tidak menyangka cowok sekasar dan seketus Devan juga bisa bersikap lembut dan seperhatian itu.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang