14. Hujan

1.5K 112 105
                                    

Embun tidak perlu berwarna untuk dicintai hujan. Begitupun kamu.
-Struggle
*****

SELAMA selang hampir tujuh menit kemudian, Alatha akhirnya berhasil menghabiskan semua sandwichnya. Alatha masih tidak menyangka kalau dia bisa segera menghabiskan roti lapis itu dengan waktu sesingkat ini. Ini adalah rekor makan tercepatnya sepanjang sejarah dan harus Alatha akui kalau dia bangga dengan itu.

    "Kita pulang." Setelah membayar bill, Devan segera bangun dari tempat duduknya dan keluar dari kafe. Alatha juga tidak mau berlama-lama lagi di sini hingga kemudian dia bergegas menyusul Devan keluar kafe dengan perut yang super kenyang.

Devan mulai menyalakan mesin kendaraannya. Kemudian mulai melajukan sepeda motornya dengan kecepatan standar. Sepanjang perjalanan, Alatha sengaja tidak mengalihkan tatapan matanya dari jam tangannya yang kini sudah menunjukkan pukul 14.45. Beberapa kali Alatha menelan salivanya berharap waktu bisa berhenti sebentar saja atau berharap kalau mungkin dia bisa mengatur ulang waktu dan memutar jarum panjangnya itu kembali ke jam 13.00 lagi. Tapi itu mustahil. Sangat!

Baru saja sepeda motor Devan berjalan sejauh tiga ratus meter dari lokasi kafe, tiba-tiba saja terdengar suara guntur besar dan bertepatan dengan itu hujan turun dengan derasnya membasahi bumi beserta isinya. Devan segera menepikan kendaraannya menuju ke halte yang kebetulan ada di sisi jalan untuk berteduh. Devan dan Alatha segera turun dari motor dengan kondisi pakaian yang basah kuyub akibat siraman air hujan yang deras. Alatha merutuk beberapa kali karena hal itu. Dia sudah menduga kalau akan turun hujan. Dan sepertinya mimpi buruknya selama ini akan benar-benar terjadi. Ayahnya pasti akan marah besar. Pasti!

"Tuh kan, saya bilang juga apa? Hari ini pasti hujan!" Alatha ngomong entah pada siapa.

Devan melepaskan helm dari kepalanya lalu menatap tajam Alatha, "Kenapa jadi salah gua? Salah lo sendiri makannya lama." Devan menjawab seolah pernyataan Alatha barusan memang sebuah sindirian terhadapnya. Tapi Alatha senang karena akhirnya dia berhasil membuat cowok itu merasa tersindir walaupun dia tidak bermaksud menyindirnya.

Lima menit berlalu mereka berteduh dalam diam, hingga akhirnya Alatha angkat suara, "Kayaknya hujannya bakal lama berhentinya," kata Alatha, "Ayah pasti marah besar." Alatha mencicit pelan, tapi Devan masih bisa mendengarnya.

Devan melirik gadis mungil yang ada di sebelahnya itu. Entah mengapa Devan jadi merasa iba. Devan lupa kapan tepatnya dia bisa merasa kasihan pada orang lain tapi yang jelas sekarang Devan jadi merasa tidak enak hati karena memang semua ini adalah kesalahannya. Dia yang sudah memaksa gadis itu untuk ikut dengannya tanpa mau mendengar penjelasannya terlebih dahulu.

  Jadi ini semua adalah tanggung jawabnya. Devan mungkin memang bukan cowok baik-baik, tapi dia termasuk orang yang bertanggung jawab dan sangat amat menghargai perempuan. Mungkin terdengar receh tapi memang begitulah adanya.

  Tanpa berpikir apa-apa lagi, Devan segera melepaskan bomber jacket yang dipakainya lalu diberikannya pada Alatha. Walaupun cara dia memberi jaket itu terkesan kasar, tapi Alatha tetap menerimanya.

  "Buat apa?" Alatha bertanya.

"Dikiloin!" Cetus Devan membuat Alatha lantas melotot, "ya dipake lah." Katanya lagi, "Kita balik sekarang."

"Kamu mau nerobos ujan?" Alatha kembali bertanya.

"Lo mau nunggu di sini sampe malem? Mau dimarahin bokap lo? Kalau gak mau balik ya udah, sini jaket gua!" Devan berniat untuk menarik kembali jaketnya dari tangan Alatha namun kemudian Alatha tidak memberikannya.

"Ya udah." Kata Alatha.

"Ya udah apa? Ngomong yang jelas jangan setengah-setengah!" Gertak Devan.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang