"Kau tau apa soal rindu, kalau pagimu terbit terlalu siang dan malammu turun sebelum petang."
-Struggle
*****CUACA pagi ini terlihat sedikit mendung. Namun sebuah mobil audi berwarna biru donker terlihat sudah terparkir sempurna di depan gerbang rumah bergaya kolonial klasik yang masih berdiri kokoh hingga saat ini. Devan membuka pintu mobilnya lalu keluar dari sana. Dia ingin menjemput Alatha. Sama seperti biasanya. Kejadian kemarin malam sama sekali tidak menyurutkan nyalinya yang sama sekali tidak gentar menghadapi Brama —ayah gadis itu— Devan menganggapnya sebagai tantangan dalam hubungannya dengan Alatha. Devan bukan tipe orang yang mudah menyerah, baginya Alatha adalah perempuan yang patut untuk diperjuangkan.
Devan berjalan mendekat ke arah gerbang. Baru saja ingin menekan bel, seseorang sudah lebih dahulu membuka gerbang rumah tersebut. Seorang gadis remaja usia anak SMP muncul di hadapan Devan. Dia terlihat sedikit terkejut mendapati keberadaan Devan di sana. "Kak Devan—" gumam Icha menatap Devan.
Devan tersenyum kecil pada adik perempuan Alatha, "hai, Alathanya ada?" Tanya Devan.
Icha terlihat sedikit kelimpungan menanggapi pertanyaan Devan yang barusan tadi. Namun kemudian Ica memilih menyembunyikan perasaan itu dan berkata, "emm.. Kak Atha— udah berangkat duluan, Kak." Jawab Icha sedikit ragu. Mengenai permasalahan antara Ayahnya dan Kakak perempuannya itu, Icha juga tau. Makanya dia sedikit kaget karena Devan ternyata masih berani untuk datang ke sini setelah kejadian kemarin malam.
"Berangkat duluan?" Ulang Devan, Icha hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Untuk apa kamu datang ke sini lagi?"
Baik Devan maupun Icha, sama-sama menoleh ke arah sumber suara itu berasal. Di sana, di depan pintu gerbang rumah yang masih terbuka, Brama berdiri sambil tolak pinggang menatap tajam ke arah mereka berdua, khususnya Devan. Untuk kedua kali setelah kejadian semalam, Devan akhirnya kembali bersitatap dengan ayah Alatha. Tatapan yang dingin, yang bahkan membuat Devan sadar kalau selama ini dia juga memiliki tatapan seperti itu dan rasanya sangat tidak nyaman jika seseorang menatapnya dengan tatapan yang demikian.
Bertepatan dengan itu, sebuah mini bus tiba di depan perkarangan rumah. Itu adalah mobil jemputan Icha. Icha melirik Ayahnya yang memberi isyarat padanya untuk segera masuk ke dalam bus. Walaupun sebenarnya sangat ingin melihat apa yang akan terjadi setelah ini antara Devan dan juga Ayahnya, karena takut Ayahnya malah akan memarahinya, akhirnya Icha memilih untuk segera berangkat ke sekolah. "Ayah, Kak Devan, Icha pamit." Kata Icha yang kemudian langsung berlari kecil dan segera naik ke dalam bus tanpa menunggu jawaban dari keduanya. Setelah itu bus pun melaju, meninggalkan Brama dan juga Devan.
"Saya ke sini mau jemput Alatha, Om." Jawab Devan dengan penuh ketenangan.
Walaupun Brama sudah lebih dulu menilainya sebagai orang yang tidak benar dan walaupun penilaian tersebut memang sama sekali bukan suatu kekeliruan, tapi itu bukan alasan Devan untuk menyerah. Andai saja Brama tahu sikap Devan yang sebenarnya. Semakin dilarang semakin memberontak dan semua orang terdekatnya tau itu. Semua orang berubah dan memang begitulah kenyataannya dan Devan rasa, walaupun belum sepenuhnya berubah tapi dengan adanya keberadaan Alatha di sisinya perlahan-lahan dia sudah mulai berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Mungkin terdengar klise tapi memang itulah kenyataannya.
Mendengar pernyataan Devan barusan, Brama lantas tersenyum sinis, "benar-benar bebal. Saya bilang apa sama kamu semalam? Saya melarang kamu untuk berhubungan dengan anak saya lagi, masih belum paham?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle
Teen Fiction[TAMAT] Dia dingin, posesif, sulit ditebak seperti cuaca dan terkesan angkuh. Dunianya begitu abu-abu, sampai akhirnya dia menemukan seseorang yang membuat dunianya menjadi lebih hidup. Alatha. Seorang gadis yang ternyata mampu menaklukan hatinya ya...