31. Gerombolan rusuh

1.1K 71 22
                                    

Sejak kemarin, asumsiku padanya berubah.
-Struggle
*****

   ALATHA sedang ada jam pelajaran olahraga hari ini. Cuaca hari ini teduh. Tidak terlalu panas. Alatha sujud syukur begitu mengetahui hal ini. Dia tidak mau terlalu lama berada di bawah terpaan sinar matahari karena itu dapat membuatnya pusing. Kali ini kelas Alatha sedang melakukan pemanasan. Alatha yang ditunjuk sebagai leader untuk memimpin kegiatan pemanasan itu. Walaupun sejujurnya Alatha sedang malas, Alatha tetap saja menyanggupi karena ini adalah perintah guru. Alatha tidak terbiasa menolak perintah dari orang tua, termasuk guru.

   "Alatha, Bapak mau ke kantor dulu, priwitan Bapak ketinggalan. Kamu tunggu di sini sebentar sampai Bapak kembali ya?" Tukas Pak Dodi -guru olahraga SMA Pancasila 01-

   "Baik Pak," sahut Alatha, "tapi priwitan itu apa ya Pak? Saya kok gak paham bahasanya."

   "Itu yang biasa Bapak pakai buat manggilin siswa untuk kumpul di lapangan." Kata Pak Dodi, Alatha masih mengernyit bingung, "itu loh yang biasa Bapak tiup terus sumpelin di mulut, yang waktu itu pernah hampir ketelen sama Bapak gara-gara emosi kalian gak bisa baris yang bener minggu lalu." Katanya lagi. Beberapa anak terkekeh mendengar pernyataan Pak Dodi barusan.

   "Oh flute maksud Bapak?" Tukas Alatha lagi polos. Memang susah ngomong sama orang polos, harus dijelasin secara detail dulu baru paham.

  "Iya Alatha, haduhh," Pak Dodi terlihat menghela napasnya berat karena Alatha yang begitu telmi, "gak penting banget kamu nanya-nanya kayak gini, sudah sekarang mulai pemanasannya, Bapak mau ke kantor dulu." Kata Pak Dodi lalu beranjak dari sana menuju ke kantor.

   Alatha memulai gerakan pemanasan hari ini. Alatha sebenarnya tidak suka dengan hal-hal yang berbau olahraga. Nilai ulangan penjaskesnya selalu standar sejak SMP dulu. Apalagi kalau sudah membahas tentang sepak bola. Biasanya Alatha akan sangat senang kalau pada saat ulangan olahraga dan dia satu kelas dengan anak cowok yang pintar di bidang itu. Alatha bisa bertanya beberapa kali padanya mengenai istilah yang tidak Alatha pahami dengan syarat, kalau ulangan matematika atau semacamnya gantian Alatha yang kasih tau pada cowok itu. Tapi kalau hanya pemanasan seperti ini, Alatha rasa tidak membutuhkan keahlian tertentu. Hanya mengikuti gerakan yang biasa diperagakan oleh Pak Dodi atau orang lain juga bisa.

   "Berdiri di depan tiang bendera sampai dua jam pelajaran selesai!"

   "Yawlo Bu pegel Bu, satu jam aja ya?"

   "Tidak ada negosiasi! Lakukan sekarang, atau kalian Ibu skors!"

   "Astaga kejam banget istrinya Hitler."

   "Apa kamu bilang?!"

   "Enggak Bu, ampun Bu."

    Alatha menoleh ke belakang begitu menengar suara keributan dari beberapa orang yang saling bersahutan itu. Ternyata suaranya berasal dari lima orang yang saat ini sedang kena hukum oleh Bu Feranda berdiri di depan tiang bendera. Ke lima remaja itu adalah Devan, Maxime, Gilang, Bagas, dan Bondan. Ah, bukan pemandangan yang asing lagi. Mereka memang sudah langganan jadi bulan-bulanan Bu Feranda karena sering datang ke sekolah terlambat.

   "Sudah jangan banyak bicara! Siapa suruh datang terlambat ke sekolah. Sekarang kalian berdiri, jangan ada yang coba kabur, kalau ada yang kabur, hukumannya Ibu tambah lima kali lipat dari ini." Tukas Bu Feranda yang langsung berlalu masuk ke dalam gedung sekolah meninggalkan ke lima remaja itu.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang