51. The True Enemy

891 52 18
                                    

Jaman sekarang banyak serigala berbulu domba ya.
-Struggle
*****

"VAN! lo kenapa si? Diem aja dari tadi?" Gilang akhirnya menegur dan menoleh ke arah Devan yang sedari tadi diam di dalam kelas tanpa mau bergabung main game di ponsel bersama teman-temannya. Padahal biasanya Devan termasuk orang yang maniak game. Devan selalu menang main game dan hal ini menjadi kesenangan tersendiri baginya. Tapi semejak kejadian di kantin dua hari lalu memang Devan jadi pendiam.

Memang selain merokok, mabuk-mabukan, berkelahi, dan balapan cara lain untuk mengatasi rasa marah dan kecewa Devan adalah dengan diam. Dan biasanya kalau sudah seperti itu, tidak akan ada lagi yang berani menegurnya karena kalau demikian tidak menutup kemungkinan kalau nantinya orang itulah yang menjadi korban salah sasaran yang akan dijadikan Devan sebagai bahan pelampiasan amarahnya. Karena diamnya seorang Devan itu merupakan puncak kemarahan yang amat sangat mutlak bagi pemuda itu.

"Kan gue bilang juga apa? Udah ayo ke kantin aja daripada diem di kelas kayak orang bener. Ato ga ke warung Pak Kodim dah biar bisa ngerokok, biasanya juga setiap jam istirahat kedua ke sana kita, masa cuma gara-gara Devan lagi gak mau keluyuran kita juga malah diem di sini sih." Protes Bagas kemudian sambil melempar ponselnya ke atas meja. Dia benar-benar kesal karena teman-temannya tidak ada yang mau diajak ke kantin sejak kemarin.

  "Gas, bego lo! Udah tau si Devan lagi putus cinta lo malah rewel kayak banci. Kita harus nemenin dia di sini karna kalo enggak takutnya dia bakal ngelakuin hal yang bikin kita semua repot gara-gara dia lagi putus cinta!" Sergah Bondan membuat Bagas ikut melirik ke arah Devan yang tengah duduk terdiam di bangku paling pojok belakang kelas.

"Cintanya ditolak sama Alatha? Ya elah, dulu aja bilangnya gak suka sama tuh cewek cuma buat main-mainan aja buat bikin si Leon sakit hati, eh sekarang malah jadi kemakan omongan sendiri." Ledek Bagas.

   Memang Bagaslah orang yang paling menyebalkan dan slengean daripada teman-temannya yang lain. Terlebih lagi ketika kemarin Devan menembak Alatha di kantin dia juga tidak ikut. Jadi dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada temannya itu.

"Gas! Jangan bikin suasana tambah ancur dah. Lo gak liat mukanya Devan sekarang kayak apa? Setan aja takut ngeliatnya." Sergah Bondan membisiki. Bagas kembali menoleh ke arah Devan.

Devan memang tampak berbeda belakangan ini. Tatapan Devan tidak seperti biasanya. Walaupun tetap tajam seperti biasanya tapi terlihat kosong. Melihat hal itu Bagas mendadak merinding sendiri. Udara di sekitar Devan terlihat seperti dipenuhi aura negatif yang menyeramkan. Jadi seperti inilah Devan jika sedang patah hati karena cewek. Baru kali ini selama Bagas dan teman-temannya berteman dengan Devan, dia melihat Devan seseram dan sefrustasi ini.

  "Ah ya udah lah! Gak asik lo semua." Bagas memilih mengalah dan kembali duduk lalu mengambil ponselnya untuk lanjut main game.

Maxime menatap Devan simpati. Biar bagaimanapun ini juga kesalahannya. Harusnya dia tidak usah pakai acara memaksa Devan untuk mengikuti rencananya untuk menembak Alatha dengan cara yang norak seperti kemarin. Karena selain 'bukan Devan banget' cara seperti itu juga malah membuat Devan merasa dipermalukan. Maxime sungguh merasa tidak enak. Walaupun sudah sempat minta maaf pada Devan dan Devan bilang kalau dia sudah memaafkannya tetap saja Maxime merasa tidak enak.

"Van? Lo mau bolos pelajaran dulu nanti? Nanti gua izinin. Biar pikiran lo gak mumet, biar lo rada enakkan juga nantinya." Kata Maxime mengarah pada Devan.

"Iya Van, kasian gua ngeliat lo galau kayak gini." Sambung Bondan.

Devan bergeming sejenak kemudian bangun dari tempat duduknya, "gua gak suka dikasihanin," kata Devan kemudian, "gua bukan banci yang galau cuma gara-gara cewek." Kata Devan lagi yang kemudian melenggang pergi meninggalkan kelas dan teman-temannya yang heran sendiri melihat tingkahnya itu.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang