26. Confuse

1.1K 55 18
                                    

Banyak yang mengagumi karena fisik, itu terlalu mainstream. Kalau kagum karena kepribadian itu baru anti-mainstream.
-Struggle
*******

  MOBIL audi berwarna biru dongker milik Devan berhenti tepat di depan pintu gerbang besar rumah bercat putih itu. Alatha segera turun dari mobil itu sebelum orang rumahnya sadar kalau hari ini dia tidak pulang sendirian, tapi dengan seorang laki-laki. Alatha bersyukur, karena CCTV di depan gerbang rumahnya sudah rusak karena sudah lama, dan sampai kini Ayahnya belum mengganti CCTV itu dengan yang baru dengan alasan dia masih bisa menjaga rumah ini tanpa pengawasan CCTV. Dia juga sudah membayar lebih pada satpam komplek supaya lebih ketat dalam mengawasi rumahnya. Ada untungnya juga, sebab entah mengapa belakangan ini Alatha jadi sering diantar oleh teman cowok yang pastinya akan mengganggu pikiran Ayahnya itu dengan pikiran-pikiran buruk.

  Mengenai Devan, tadi Alatha sempat bilang kalau dia ingin pulang sendiri saja. Karena kalau sampai terpergok oleh Ayahnya dia pulang diantar laki-laki, takut nanti malah jadi masalah. Walaupun pikiran itu sempat tersingkir dari asumsi Alatha sebab waktu pertama kali setelah sekian lamanya ada laki-laki datang ke rumah Alatha yaitu Leon, Ayahnya bisa menerima kedatangan Leon dengan baik. Atau mungkin Ayahnya sekarang sudah bisa mengizinkan Alatha untuk berteman dengan laki-laki, makanya Ayahnya tidak marah melihat Alatha diantar pulang oleh Leon? Mungkin sepertinya juga tidak akan masalah kalau Ayahnya melihat Devan.

  Tapi Alatha tetap harus was-was, karena pada dasarnya Leon waktu itu mengantarkannya pulang karena dia telah menyelamatkan Alatha ketika Alatha dijebak di toilet siswa oleh Gita sementara alasan Devan mengantar dirinya pulang adalah karena ada hubungannya dengan ketidak ikutsertaannya dalam mengikuti rapat OSIS kali ini.

  "Makasih udah nganterin saya, kamu— mau mampir dulu?" Tanya Alatha ragu-ragu.

   "Boleh?" Tanya Devan memastikan,  dia sudah lihat keraguan Alatha karena sangat tercetak jelas dari ekspresi wajahnya. "Bukannya bokap lo ngelarang lo pulang dianterin cowok?" Tanya Devan teringat waktu terakhir kalinya dia menghantarkan Alatha ke rumahnya.

   "I-iya sih, tapi belum lama ini saya.. juga nerima tamu cowok, Ayah saya gak marah sama dia padahal dia udah nganter saya pulang." Alatha sengaja tidak menyebutkan siapa nama orang yang dimaksud itu karena takut nanti Devan jadi bertanya-tanya sendiri apa hubungan antara dirinya dan Leon. Walau tidak mungkin Devan menyebarkan isu ini seperti halnya kebanyakan orang pada umumnya, bukan tidak mungkin Devan akan berpikiran yang tidak-tidak tentangnya dan Leon. Apalagi mengingat obrolan dirinya dan Devan di kafe tadi. Devan seolah ingin tahu sekali bagaimana perasaannya terhadap Leon. Alatha tidak ingin jadi bahan perbincangan publik, makanya dia memilih diam.

   "Cowok? Siapa?" Tanya Devan.

   "Bukan urusan kamu," putus Alatha cepat, "sekarang gimana jadinya? Kamu mau masuk atau mau langsung pulang aja?" Tanya Alatha.

  Belum sempat Devan menjawab pertanyaan itu, pintu gerbang rumahnya tiba-tiba saja terbuka. Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap kini muncul di ambang gerbang dengan wajah datarnya yang terlihat menyeramkan bagi siapapun yang melihatnya. Brama menatap Alatha tajam, lalu pandangannya terarah pada Devan. Perasaan Alatha tiba-tiba saja tidak enak. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres dari Ayahnya.

  Tapi ketimbang memikirkan perasaan tidak enaknya itu, Alatha memilih untuk mencoba tetap menyapa Ayahnya. "Ayah," Alatha menyalimi tangan Brama, "kenalin, Yah, ini teman Alatha, namanya Devan." Kata Alatha memperkenalkan Devan pada Brama. Devan menganggukkan kepala sebagai bentuk sapaan pada Brama. Brama tidak meresponnya. Dia malah menatap Devan intens dari ujung kaki sampai ujung kepala selama beberapa saat.

  Brama sepertinya pernah bertemu dengan anak ini, tapi dia lupa kapan dan di mana tepatnya. "masuk, Zoya." Kata Brama dengan nada yang masih biasa pada Alatha. Alatha yang melihatnya lantas bingung sendiri dengan sikap Ayahnya yang kembali dingin seperti ini. Devan dingin, Brama dua kali lipat lebih dingin. Ada apa dengan Ayahnya? Padahal Alatha pikir Ayahnya akan menerima kehadiran Devan juga seperti saat menerima kehadiran Leon beberapa waktu yang lalu.

  "A-apa, Yah?-" Alatha mencoba untuk memastikan apa yang dia dengar dari Ayahnya.

  "Ayah bilang masuk ke dalam Zoya, kamu dengar Ayah tidak?!" Bentak Brama pada Alatha membuat Alatha tersentak kaget, pun juga Devan yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

  "I-iya, Yah." Alatha mengangguk patuh, lalu mulai melangkahkan kakinya menjauh dari pintu gerbang. Sekilas dia menatap Devan beberapa saat, sampai akhirnya memutuskan untuk berlari memasuki rumahnya.

   Brama masih menatap Devan. Tidak salah lagi dia pernah bertemu dengan anak ini. Ya, Brama sudah ingat sekarang. Dia tidak mungkin salah orang. Setelah bergeming beberapa saat kemudian Bramapun berkata padanya, "sebaiknya kamu pulang." Katanya lalu segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam perkarangan rumah, menutup pintu pagar, dan meninggalkan Devan begitu saja tanpa basa-basi lagi.

   Devan hanya bisa mengangkat sebelah alisnya heran, memandangi pintu rumah Alatha yang barusan ditutup oleh pria yang disebut Alatha sebagai Ayahnya tadi, lalu masuk ke dalam mobilnya kemudian berlalu memacu kendaraannya dengan kecepatan rata-rata. Walaupun agak heran dengan perlakuan Ayah Alatha padanya, tapi Devan memilih untuk tidak ambil hati. Mungkin ini yang dimaksud Alatha kalau Ayahnya tidak suka dia diantar pulang oleh laki-laki.

   Di satu sisi, Alatha sudah duduk di sofa ruang tamu bersama Melati ketika Brama baru saja masuk ke dalam rumahnya. Jantung Alatha terus-menerus berdegup kencang sejak dari kehadiran Ayahnya di pintu gerbang tadi. Alatha sudah menduga ada sesuatu yang tidak beres, itu sebabnya mengapa tadi perasaannya sempat tidak enak. Melati juga belum ingin memberitahu pada Alatha apa yang sebenarnya terjadi. Padahal Alahta yakin kalau Ibunya sebenarnya tahu apa masalahnya. Brama kini sudah duduk di sofa dekat Alatha. Menatap Alatha lekat-lekat, sampai Alatha jadi kesulitan untuk bernapas karena sangking takutnya dengan segala kemungkinan yang mungkin akan terjadi padanya.

  "Kamu sudah coba-coba belajar untuk bohongin Ayah sekarang Zoya?" Suara bariton serak khas Ayahnya terdengar memenuhi ruang tengah rumahnya.

   Alatha mencoba mengangkat wajahnya yang semula tertunduk secara perlahan untuk menatap Ayahnya, "A- Alatha bohong, Yah?" Tanya Alatha sedikit gemetar. Ayahnya mengatakan hal yang sedikit ambigu. Alatha tidak tahu maksud Ayahnya dia bohong tentang apa? Alatha berpikir kalau mungkin saja ini tentang hal lain yang tidak dia sadari, tapi kalau diingat-ingat lagi Alatha tidak pernah mencoba membohongi Ayahnya tentang hal apapun. Kecuali...

  "Hari ini kamu tidak ikut rapat OSIS. Apa benar?" Tanya Brama yang lantas membuat Alatha tersentak kaget begitu mendengarnya. Benar firasatnya kalau ternyata Ayahnya tahu kalau hari ini dia tidak ikut rapat OSIS. Tapi mengapa bisa Ayahnya tahu kalau dia tidak ikut OSIS?

"Ayah tau?" Alatha langsung menggigit bibir bagian bawahnya ketika sadar kalau dia sudah keceplosan omong. Harusnya dia tidak bertanya demikian karena pasti Ayahnya malah semakin mencurigai kalau pernyataannya itu benar. Ah, ayolah! Kalian pasti tau kalau Alatha itu tidak pandai berbohong. Dia terlalu naif dan lugu untuk bisa membohongi Orang tuanya seperti sekarang ini. Semuanya sudah kacau sekarang. Alatha benar-benar tamat kali ini.

  "Jadi benar?" Tukas Brama dengan sorotan mata yang semakin terlihat menyeramkan. Alatha hanya bisa diam menunduk menyesali perbuatannya. Dia tidak berani melawan Ayahnya. Sikap keras Ayahnya membuat dia pun juga Adiknya -Icha- jadi merasa segan untuk bisa akrab dengannya seperti layaknya anak perempuan lain yang dekat dengan Ayahnya. Alatha tau Ayahnya sangat menyayangi mereka, tapi Ayahnya punya caranya sendiri untuk menunjukkan kasih sayangnya kepadanya dan juga Icha.

  "Iya, Yah." Alatha menggumam,

  Brama bergeming sebentar, rahangnya terlihat mengeras, dia melirik sekilas ke arah Melati yang memasang ekspresi cemas terhadap Alatha, lalu kemudian dia berkata, "masuk ke kamar!" Tegas Brama lagi Kepada Alatha. "Handphone kamu Ayah sita sampai seminggu." Alatha hanya bisa menghela napas pasrah. Dia sangat menyesali kenapa hal seperti ini bisa terjadi padanya.

   Alatha membuka resleting tasnya, merogoh isinya, mengambil ponselnya, kemudian memberikannya kepada Brama dengan penuh rasa bersalah, "Alatha benar-benar minta maaf." Kata Alatha lalu berlalu dari hadapan Brama dan juga Melati. Satu tetes air matanya jatuh menyentuh lantai. Meninggalkan segurat sendu dan penyesalan mendalam yang begitu menyesakkan.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang