94. Kabar Baru

342 41 29
                                    

Hal baik selalu datang pada orang-orang yang mau bersabar
-Struggle
*******

SUDAH diputuskan, Alatha resmi akan dipindahkan ke sekolah asrama sesuai dengan apa yang sudah dikatakan oleh Brama dua hari yang lalu. Hari ini Alatha bersama Ayah dan Ibunya baru saja keluar dari gedung asrama tempat di mana Alatha akan ditempatkan nanti untuk mensurvei tempat sekalian tanya-tanya bagaimana prosedur untuk mutasi siswa dari sekolah biasa ke asrama dan setelah sudah cocok, Brama tanpa basa-basi lagi langsung mengambil keputusan mendadaknya itu dengan sebelah pihak. Tidak peduli dengan Melati yang sepanjang perjalanan tadi memintanya untuk mempertimbangkan hal ini baik-baik, ataupun juga tidak peduli dengan Alatha yang sejak keberangkatan mereka dari rumah tadi sudah diam menahan isak tangis di kursi belakang mobil mereka.

"Mas— apa tidak bisa keputusan ini dibatalkan saja? Kasihan Alatha kalau jauh dari rumah." Bujuk Melati lagi sambil menatap Brama yang fokus menyetir. Brama hanya diam, tidak merespon kata-katanya.

"Mas—"

"Sudahlah," putus Brama memotong pembicaraan Melati, "ini semua demi kebaikan kita semua." Tegas Brama. "Kalau dia masih tetap bersekolah di sana, itu artinya dia akan bertemu dengan anak berandal itu." Tukasnya,

  "Pokoknya saya tidak mau Zoya berhubungan lagi dengan anak itu. Devan atau Leon, dua-duanya sama saja. Sampai sekarang saya masih tidak menyangka kalau kedua anak itu adalah sepasang adik-kakak. Karakternya benar-benar berbanding terbalik, tapi keduanya sama-sama kurang ajar, berani-beraninya mereka mempermainkan saya seperti itu." Ungkap Brama bermonolog kesal.

Melati hanya bisa menelan perkataannya tadi bulat-bulat. Percuma, sebisa mungkin dia mencoba untuk mengubah keputusan suami-nya itu pasti hasilnya akan tetap sama. Brama terlalu keras kepala dan tidak mudah untuk dibujuk jika keputusannya sudah bulat. Melati menoleh ke belakang, menatap sendu wajah Alatha yang sudah basah oleh air mata selama beberapa saat. Melati sangat tidak tega melihat kondisi putrinya tersebut. Pasti akan sangat berat bagi Alatha jika harus hidup jauh dari keluarganya. Bukan hanya Alatha yang merasa keberatan tetapi juga dirinya.

"Mau kemana, Mas? Rumah kita lewat bawah flyover tadi, kelewatan." Melati berseru saat Brama malah mengendarai mobilnya naik ke arah flyover menuju ke daerah Cilandak.

"Ck, saya kemarin sudah bilang sama kamu kan? Hari ini kita survei asrama untuk Zoya sekalian pulangnya mampir jenguk sahabat lama saya di rumah sakit Fatmawati." kata Brama pada Melati.

  Seperti baru mengingat sesuatu, Melati lantas bergumam, "oh jenguk temen Mas?" Tanya Melati.

  Brama mengangguk, "dia sahabat saya waktu SMA dulu. Orangnya baik, sudah lama sekali tidak bertemu. Sebagian besar teman SMA sudah datang menjenguk, sepertinya tinggal saya saja yang belum." Ucap Brama.

Melati hanya bergumam sebagai jawaban. Dia kembali menoleh ke arah belakang menatap Alatha, "sayang, gak apa-apa kan kalau kita mampir dulu ke rumah sakit Fatmawati buat jenguk sahabat lamanya Ayah?" Tanya Melati pada Alatha.

Alatha mengusap air matanya yang tadi sempat turun lagi dari kedua pipinya, lalu berkata, "iya Bunda, gak apa-apa." Ujar Alatha tersenyum kecil. Melati ikut tersenyum kemudian mengusap lembut pipi Alatha.

Mobil sedan hitam milik keluarga Alatha melaju dengan kecepatan rata-rata membelah jalan raya ibu kota yang lumayan lenggang pagi hari menjelang siang itu. Polusi bertebaran di sepanjang perlintasan jalan. Mungkin klaim yang mengatakan bahwa Jakarta merupakan kota terpadat di Indonesia memang benar adanya. Setiap hari hampir tidak pernah sepi kendaraan yang melintas. Tidak ada waktu bagi kota ini untuk beristirahat dari hiruk pikuk kendaran dan polusi yang menjalar liar.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang