96. Ending

552 50 31
                                    

Tuhan Maha membolak-balikkan hati
-Struggle
******

"BUNDA— Alatha berangkat dulu ya?" Alatha menyalami tangan Melati —yang baru saja selesai menyiangi dan mencuci sayuran di atas westafel— setelah selesai sarapan pagi ini. Seragam putih abu-abunya melekat rapih di tubuhnya. Senyum di bibir gadis itu tak kunjung menyurut dari semejak dia bangun pagi tadi dan karena hal itu aura Alatha semakin terpancar dari wajahnya. Begitu mendengar pernyataan Ayahnya yang kini tidak jadi memindahkannya ke sekolah asrama, Alatha tidak henti bersyukur.

Apalagi sejak pertemuannya dengan Devan dan keluarganya tiga hari yang lalu. Alatha masih ingat bagaimana respon terakhir Ayahnya saat Ayah Devan melakukan negosiasi agar Brama menyetujui hubungan Devan dengan Alatha. Awalnya Alatha sempat takut karena Brama sama sekali tidak menggubris pernyataan itu dan mengabaikan semua pembicaraan Pandu terkait kelanjutan hubungan antara Alatha dan Devan yang selama ini selalu terhalang oleh restu dari Brama. Namun ketakutan Alatha mendadak buyar pada saat Brama melakukan percakapan kecil setelah mereka selesai makan malam bersama Devan dan keluarganya.

Flashback...

"Apa kamu benar-benar menyukai anak itu, Zoya?" Tanya Brama sambil melirik sekilas ke arah seorang gadis yang duduk di kursi mobil di sebelahnya.

Alatha terpaku di tempat. Mobil Ayahnya baru saja melaju beberapa meter meninggal-kan lapangan parkir restoran. Alatha merasa bingung harus menjawab apa karena Brama tiba-tiba saja malah membahas hubungannya dengan Devan padahal saat makan malam bersama Ayah Devan tadi, Ayahnya sama sekali enggan meladeni pernyataan demi pernyataan yang dilontarkan teman SMAnya itu terkait masalah ini. "Mmm.. Maksud Ayah?" Tanya Alatha penuh ambigu.

    Brama menghela napasnya gusar, "Ayah tanya, apa kamu benar-benar menyukai Devan?" Tanyanya sekali lagi.

   Alatha menggigit bibir bawahnya samar. Dia menurunkan arah pandangannya menatap ke arah dashboard mobil Ayahnya. Pertanyaan Brama barusan jujur saja membuatnya jadi serba salah. Jika dia jujur dengan mengatakan iya, dia takut Ayahnya malah marah tapi jika bilang tidak dia takut Ayahnya juga marah karena pasti tahu kalau dia telah mencoba berbohong. Alatha menjadi serba salah. "I—itu.. Alatha— Alatha gak bisa jawab, Yah." Tukas Alatha akhirnya.

   Brama menatap Alatha sejenak kemudian hening terjadi selama beberapa saat setelah itu. Sampai akhirnya keheningan terpecah saat Brama kembali angkat suara. "Ayah minta maaf kalau selama ini Ayah terlalu banyak mengekang kamu." Kata Brama tiba-tiba. "Ayah hanya khawatir, karena kamu anak gadis Ayah yang Ayah sama sekali tidak mau ada orang yang nantinya akan membawa kamu pada hal-hal yang buruk."

Alatha menatap Brama cukup lama. Alatha dapat mengerti kegelisahan yang selama ini ada di benak Ayahnya itu. Walaupun terkesan keras dari luar, Alatha tahu kalau Ayahnya itu memiliki jiwa penyayang yang sangat dalam pada keluarganya. Alatha yakin semua kekhawatiran yang ditunjukkan Brama selama ini padanya merupakan bukti lain dari kasih sayangnya.

Alatha selalu percaya pada kalimat yang mengatakan bahwa Ayah adalah cinta pertama sekaligus satu-satunya laki-laki yang tidak akan pernah menyakiti hati anak gadisnya. "Yah— Alatha tau ko kalau Ayah gak pernah bener-bener berniat untuk ngekang Alatha. Alatha yakin kalau semua yang Ayah lakuin untuk Alatha, itu semua demi kebaikan Alatha." Ucap Alatha membuat Brama menoleh sekilas ke arahnya.

Alatha tersenyum samar lalu kembali berkata, "Alatha inget kalau Alatha udah pernah buat kecewa Ayah dan bohongin Ayah waktu itu— Alatha minta maaf, Yah." Kata Alatha mengungkit kejadian saat dulu dia pernah membohongi Ayahnya dengan bilang bahwa dia ada rapat OSIS padahal itu hanya alibi agar dia bisa pergi dengan Devan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang