92. Turning Back

405 41 19
                                    

People change, memories don't
-Struggle
******

SUARA deruman mobil yang dikendarai Devan terdengar memecah hujan di jalan raya Jakarta yang sudah mulai mereda. Tidak ada percakapan yang terjadi antara Alatha dan juga Devan saat ini. Yang terdengar hanyalah suara musik dari radio yang sudah mengalun sejak keberangkatan mereka dari sekolah tadi. Baik Alatha maupun Devan, keduanya sama-sama berkelakar dengan pikiran mereka masing-masing. Sebenarnya ada banyak yang ingin mereka bicarakan, tentang hubungan mereka yang telah merenggang, tentang segala pertanyaan yang masih berbayang, tentang rindu yang tak berbalas, tentang cinta yang sebenarnya telah kandas. Tapi entah mengapa mereka memilih bungkam. Momen menjadi kaku seketika. Hanya suara detak jantung yang terdengar samar-samar ikut mengiringi lantunan musik dari radio mobil Devan.

Sampai akhirnya keheningan itu perlahan sirna ketika Devan membelokkan stir mobilnya ke arah sebuah kedai makanan di pinggir jalan. Alatha lantas tertegun sesaat ketika menyadari kalau Devan malah membawanya ke kedai soto yang terletak di dekat Perpustakaan pusat kota. Tempat yang dulu pernah mereka datangi bersama sebelum mereka resmi jadian.

"Kita— ngapain ke sini?" Tanya Alatha pada Devan yang hampir berupa gumaman.

"Makan." Jawab Devan singkat. "Lagi pengen soto ayam." Ucap Devan lagi.

  Alatha mengangkat kedua alisnya samar, "jadi kamu maksa saya pulang bareng kamu cuma buat nemenin kamu makan soto?" Tanyanya.

  "Iya." Jawab Devan, "kalau lo gak mau ya udah, lo tunggu sini aja, gua makan sendiri." Tukas Devan lalu membuka pintu mobilnya kemudian turun dan berjalan ke arah kedai soto meninggalkan Alatha sendirian di mobil.

  Menyadari hal itu, Alatha lantas membeo tidak percaya. Devan, sejak dulu sampai sekarang watak cowok itu memang tidak pernah berubah. Pemaksa dan selalu bertindak sesuka hati dan keinginannya saja tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Egois mungkin merupakan satu kata lain yang dapat mendeskripsikan sosok Devan selain dari kata dingin dan menyebalkan. Alatha sebenarnya sudah tidak kaget karena sejak pertama kali bertemu dengan Devan, cowok itu memang sudah terbiasa bersikap seperti ini.

  Namun karena alasan itu juga, entah mengapa— Alatha malah jadi merindukan sosok Devan. Devan yang dulu selalu ada di sampingnya kemanapun dia pergi, Devan yang selalu menyebalkan, Devan yang selalu penuh kejutan, Devan yang posesif, Devan yang cemburuan, pokoknya segala sesuatu tentang Devan, dia rindukan.

Mungkin sekarang Alatha sedang bermimpi, setelah beberapa periode lalu jarak antara dia dan Devan seolah penuh sekat, kini akhirnya dia bisa dekat lagi dengan cowok itu. Jujur saja sebenarnya sampai detik ini Alatha masih bingung, kenapa Devan bisa tiba-tiba mengajaknya pergi seperti ini? Padahal jelas-jelas saat Alatha datang untuk menjemputnya bersama Leon ke kantor polisi, dia seolah menolak kehadiran Alatha dengan berkata hal yang tidak-tidak. Tapi— bicara tentang jalan pikiran Devan, sejak dulu memang tidak pernah berubah. Selalu sulit untuk ditebak.

  "Nih, makan."

   Lamunan Alatha lantas buyar ketika tiba-tiba saja Devan sudah berada di sebelahnya dengan membawa dua mangkuk soto ayam dan menyodorkan satu mangkuk ke arah Alatha. "E-eh? Kok dibeliin juga?" Tukas Alatha.

  "Ini jam makan siang." Tukas Devan datar, "ambil, gua tau lo sebenernya gak bisa nolak makan soto di sini kan?" Katanya lagi.

"Sok tau gitu." Gumam Alatha.

Devan menoleh ke arahnya lalu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, "jadinya mau apa enggak?" Tanyanya.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang