85. Conversation

404 28 6
                                    

"It's okay to cry when there's to much in your mind. The clouds rain too when things get heavy"
-Struggle
*****

ALATHA dan Leon sudah sampai di kedai kafe dekat jalan raya di daerah Kuningan. Selesai Leon melepaskan helm, mereka berdua langsung masuk ke dalam kafe. Alatha memilih duduk di dalam karena suasana saat ini sedang panas terik. Kondisi kafe saat ini tidak terlalu ramai pengunjung. Mungkin karena hari ini adalah hari kerja jadi tidak ada banyak pengunjung yang datang. Namun hal itu malah membuat Alatha menjadi rileks. Karena selain tempatnya yang cozy, dengan tidak banyaknya pengunjung yang datang dia jadi bisa merasa tenang. Semua hal yang sempat bergelut di otaknya yang sempat membuatnya penat lantas langsung sirna seketika.

  "Mau pesen apa, Tha?" Tanya Leon pada Alatha begitu pramusaji kafe datang membawa buku menu untuk mereka.

  "Saya pesen greentea latte aja, Kak." Katanya.

  "Makannya?"

   Alatha menggeleng, "enggak deh, Kak. Saya gak laper." Ucap Alatha.

   "Makan, Tha. Ini udah jam makan siang, takut magh lo kambuh lagi, mau?" Ucap Leon yang langsung membuat Alatha bungkam. Dia memang punya sakit magh, kalau telat makan bisa saja penyakitnya kambuh.

  Akhirnya karena tidak ingin merasakan sakit karena magh lagi, Alatha memilih untuk mengiyakan tawaran Leon untuk makan. "Yaudah deh, Kak. Saya pesen nasi terriyaki aja." Kata Alatha.

  Leon mengangguk. Kemudian setelah selesai memesan menu yang lainnya, pramusaji tersebut pergi meninggalkan mereka berdua.

  "Kak Leon— mau ngomong apa?" Tanya Alatha langsung to the point.

Leon menatap Alatha beberapa saat, sebelum akhirnya berkata, "soal Devan." Katanya. "Hubungan kalian— masih gak berjalan baik sampai saat ini?" Tanya Leon yang sontak saja membuat Alatha sedikit terkejut. Leon terlalu spontan mengungkit masalah hubungan antara Alatha dan juga Devan. Alatha belum ada persiapan untuk menjawab, wajar saja dia kaget begitu Leon tiba-tiba bicara seperti ini.

  Alatha mengerjapkan matanya sekilas, lalu tersenyum, "emangnya gak ada bahasan lain selain soal Devan ya, Kak?" Gumam Alatha sembari tersenyum kecut.

  Leon mengerti. Mungkin topik ini terlalu sensitif untuk dibahas. Tetapi mau bagaimana lagi? Memang inilah yang ingin dia bicarakan pada Alatha. Semua hal menyangkut Devan dan embel-embel lain tentang cowok itu. "Sori kalau topik ini buat lo gak nyaman, Tha," ucap Leon, "tapi, tujuan gua ngajak lo ke sini yaitu memang ingin membahas soal ini." Katanya lagi. "Lo gak keberatan, kan?" Tanyanya.

  Alatha mengatubkan bibirnya. Sempat berpikir sejenak. Walaupun memang dirinya sangat tidak ingin membahas soal Devan— apalagi dengan Leon yang secara pribadi memiliki hubungan khusus dengan Devan— tapi dia penasaran juga dengan apa yang sebenarnya ingin dibicarakan Leon padanya tentang cowok itu. Akhirnya, karena adanya rasa penasaran itu, Alatha memilih untuk menghilangkan dulu egonya yang tidak ingin mengungkit tentang Devan lagi. "Hmm.. yaudah deh, gak apa-apa, Kak." Katanya.

  Leon tersenyum kecil, lalu menyandarkan punggungnya ke belakang, "selama ini— kayaknya gua emang salah, Tha," ujar Leon yang lantas membuat Alatha menautkan kedua alisnya bingung.

   "Maksudnya? Salah gimana, Kak?"

   "Selama ini gua udah egois, Tha." Katanya lagi yang membuat kening Alatha semakin mengernyit karena bingung. Namun untuk kali ini, Alatha memilih untuk diam terlebih dahulu membiarkan Leon menyelesaikan kata-katanya supaya dia bisa paham dengan apa yang ingin disampaikan oleh Kakak kelasnya itu. "Gua selalu ngikutin ego gua. Apapun yang gua mau harus selalu gua dapetin gimanapun caranya, sekalipun itu harus mengorbankan perasaan orang lain." Kata Leon lagi penuh ambigu.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang