82. Become Something Else

490 31 5
                                    

Rasa sakit yang terdalam adalah ketika kamu terjatuh, namun tak ada seorangpun yang dapat kamu andalkan untuk membantumu bangkit. Karena rasa percayamu terhadap semua orang, ternyata sudah mati
-Struggle
*******

DEVAN berjalan santai memasuki lorong koridor sekolah. Seragam sekolah berantakan, sepatu sport putih, dan rambut yang sudah mulai terlihat lebih gondrong dari biasanya. Belum jam delapan pagi, tetapi sudah tiga peraturan sekolah yang dilanggar olehnya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Bel masuk mulai terdengar dan itu terdengar sangat menyebalkan di telinga Devan. Dia mendecak, lalu satu tangannya mulai merogoh saku celana abu-abunya untuk mengambil sesuatu. Devan mengambil sebatang rokok, menyalakannya dengan pematik, kemudian menikmatinya sambil tetap berjalan menaiki anak tangga. Satu pelanggaran baru saja dilakukan, lagi.

Ini hari pertama dia kembali masuk ke sekolah. Sudah seminggu setelah kematian Ibunya, Devan tidak masuk sekolah ataupun pulang ke rumahnya. Dia memilih untuk pergi ke rumah Eyang putrinya yang ada di Bandung untuk mengungsi sementara bahkan tanpa sepengetahuan Eyangnya itu. Padahal seluruh keluarganya hadir pada saat pemakaman Ibunya seminggu lalu, begitupun Eyangnya. Makanya setibanya di rumah, Eyangnya kaget bukan main begitu menemukan Devan sudah tertidur nyenyak di sofa ruang tamunya.

Sejak dulu Devan memang dekat dengan orang tua perempuan Ibunya itu. Setelah kehilangan Ibunya, Devan memang benar-benar merasa berada di titik terendah dalam hidupnya. Devan tidak tahu harus bersandar pada siapa lagi selain pada Eyangnya. Jujur saja sebenarnya dia sempat bingung ingin pergi ke mana karena dia sangat tidak ingin pulang ke rumah dan bertemu dengan Pandu maupun Leon. Percuma jika dia mau memilih untuk minggat dari rumah tapi hanya di daerah sekitar jakarta saja, Pandu pasti akan dengan mudah menemukannya seperti kejadian dulu. Makanya setelah lama berpikir, akhirnya dia menetapkan rumah Eyangnya di Bandung sebagai destinasi pilihannya.

Jujur saja sebenarnya Devan tidak ingin kembali ke Jakarta. Dia ingin tinggal di rumah Eyangnya itu. Dia bahkan meminta Eyangnya berbohong pada Pandu untuk mengatakan bahwa dia tidak ada di Bandung saat Ayahnya itu mencari keberadaannya yang entah kemana. Tetapi Eyangnya menolak, dan dengan penuh kelembutan dia meminta Devan untuk kembali ke rumah karena Ayahnya benar-benar mengkhawatirkannya. Akhirnya karena paksaan dari Eyangnya, Devan memilih untuk menurutinya dan pulang ke rumah.

Tapi sejak itu, Devan benar-benar berubah. Dari yang semula buruk, sedikit membaik, sampai akhirnya kembali buruk. Bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Luka yang membuatnya menjadi seperti ini. Baginya tidak ada satu orangpun di dunia ini yang dengan sudi memberikan kebahagiaan seutuhnya baginya. Semua hanya sandiwara. Ekspektasinya terlalu tinggi sehingga meng-anggap bahwa kebahagiaan yang kemarin sempat hadir akan selalu menjadi miliknya yang tidak akan pernah pamit. Ternyata benar, di dunia ini tidak ada yang abadi.

"DEVAN!"

Devan memejamkan matanya kesal kemudian menghentikan langkahnya seketika suara yang tak asing itu terdengar di telinga. Dia menghembuskan napasnya gusar, kemudian berbalik dan mendapati seorang wanita paruh baya berjalan ke arahnya dengan wajah yang memerah menahan amarah.

"Saya salah apa lagi?" Tanya Devan menatap datar wanita yang adalah Bu Ratih itu sambil menghembuskan asap rokok yang baru saja dia hisap tersebut sampai kepulan asap tersebut memenuhi udara.

  Bu Ratih melotot, walaupun matanya tertutup kacamata minus tapi sorotan mata itu tetap terlihat nyata. Orang awam yang melihatnya pasti akan langsung menunduk takut atau mengalihkan pandang ke arah lain, tapi lain halnya dengan Devan yang malah semakin mengangkat dagunya naik ke atas dan menatap sorotan menyeramkan itu dengan kesan menantang yang amat jelas terlihat.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang