84. Acuh

442 22 4
                                    

"Jangan salahkan orangnya, terkadang jalan satu-satunya untuk menghadapi masalah adalah dengan mencoba bersikap tak peduli"
Struggle
******

DEVAN memarkirkan sepeda motornya ke dalam garasi rumahnya dengan wajah kusut. Di depannya sudah ada Leon yang baru saja tiba di garasi. Keduanya baru saja pulang dari sekolah dan tiba di rumah dalam waktu yang bersamaan. Devan turun dari sepeda motornya dengan tergesa lalu bergegas ke dalam rumah mendahului Leon. Hari ini benar-benar hari yang sangat menyebalkan bagi Devan. Baru pertama masuk ke sekolah dia sudah harus kena skors selama empat hari karena ulahnya sendiri yang berkelahi dengan Reno istirahat tadi. Leon sampai harus turun tangan karena Bu Ratih memintanya. Leon diminta untuk bisa membimbing Devan menjadi lebih baik karena dia adalah Kakaknya. Ya, walaupun tidak tahu apa-apa, Leon juga harus jadi kena imbas dari Bu Ratih karena perbuatan Devan.

Devan membuka kasar pintu utama rumahnya lalu masuk ke dalam. Baru beberapa langkah mendekati anak tangga menuju ke kamarnya, langkahnya terhenti ketika mendengar suara seseorang yang tidak asing di telinganya. "Devan." Suara bass Pandu terdengar dari ruang tengah rumah luas tersebut.

Devan menghela napasnya gusar begitu tahu itu adalah suara Ayahnya. Rasanya sudah sangat memuakkan mendengar ceramah panjang dari Bu Ratih di sekolah tadi dan kini dia harus mendengar omelan dari Ayahnya lagi. Ini semua terjadi karena Bu Ratih dengan teganya melaporkan hal ini pada Ayahnya. Guru itu sepertinya belum puas kalau Devan hanya mendapat ceramahan dari satu pihak makanya dia melaporkan juga kelakuan Devan yang lagi-lagi membuat masalah di sekolah.

"Kemari!" Suruh Pandu pada Devan membuat Devan itu lantas menendang lantai anak tangga di sampingnya dengan spontan karena sangking kesalnya. Namun, pada akhirnya dia tetap menuruti permintaan Ayahnya dan berjalan ke ruang tengah.

"Kenapa udah pulang?" Tanya Devan pada Pandu ketika sampai di ruang tengah. Hari ini masih hari kerja. Seharusnya di jam seperti ini Ayahnya itu masih ada di kantornya. Tapi sepertinya tidak usah ditanya lagi seharusnya dia juga tahu kalau Ayahnya pasti pulang lebih awal untuk menceramahinya.

"Duduk kamu." Titah Pandu lagi ketika melihat Devan malah berdiri di sebelahnya.

Devan mendecakkan lidahnya, suasana hatinya benar-benar berantakan saat ini dan dia tidak mau lagi mendengar ungkapan dari siapapun yang nantinya pasti akan membuat kedua telinganya kembali panas. "Mau ngapain lagi sih? Kalau cuma mau ngomelin saya mendingan nanti aja, saya udah kenyang dicermahin di sekolah tadi. Saya mau istirahat, capek." Ungkap Devan seraya ingin beranjak dari sana, namun urung karena Pandu lagi-lagi berseru kepadanya.

"Papa bilang duduk!" Seru Pandu.

Devan kembali mengerang kesal dan dengan terpaksa menuruti titah Pandu untuk duduk. Devan membuang tasnya secara sembarangan ke atas sofa dan memicing tajam pada Pandu.

Pandu menatap putranya itu dengan seksama selama beberapa saat lalu menghembuskan napasnya berat. "Mau sampai kapan, Devan?" Tanya Pandu pada Devan, ada jeda selama beberapa saat sebelum akhirnya dia melanjut-kan kata-katanya. "Sampai kapan kamu terus buat Papa stres karena ulah kamu yang tidak bisa dididik dengan benar?" Ucapnya lagi.

Devan hanya diam. Tidak merespon.

"Mama kamu udah meninggal, Papa masih berduka. Apa tidak bisa kamu sedikit saja mengerti perasaan Papa? Setidaknya kalau kamu tidak bisa ngasih simpati kamu ke Papa, kamu jangan buat Papa pusing dengan lagi-lagi berbuat masalah di sekolah." Ucap Pandu.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang