"Ceritamu sudah usang, ditaruh di gudang hingga berdebu. Supaya sewaktu-waktu dapat dilihat kembali betapa meninggalkamu adalah hal terberat dan terbaik yang pernah saya lakukan"
-Struggle
******DEVAN tersenyum samar begitu melihat Alatha beranjak pergi meninggalkan kantin dengan tergesa. Melihat gerak-gerik Alatha yang seperti tadi entah mengapa membuat Devan merasa puas. Entah kepuasan apa yang dapat dia katakan disini tapi yang jelas Devan hanya ingin tahu seberapa berdampaknya ucapan dia kepada Alatha tadi. Devan hanya ingin membuktikan kepada Alatha bahwa dia sudah benar-benar berhenti memperjuangkan-nya. Dia ingin Alatha menyesali keputusannya yang telah memutuskan untuk pergi darinya. Mungkin ada sebagian yang bilang kalau usaha untuk membuat mantan cemburu adalah sebuah manifestasi jika sebenarnya kita belum bisa move on dari mantan. Ya, mungkin hal tersebut tidak sepenuhnya salah.
Devan mengambil kembali bungkus rokok yang tadi dia sempat letakkan di atas meja, kemudian bergegas untuk beranjak pergi dari sana. Belum sempat dia beranjak, lengannya sudah lebih dulu ditahan oleh Gita, "Devan, mau kemana? Kita duduk di sini aja." Ucap Gita kepada Devan.
"Lepas." Ucap Devan dingin.
Mendengar Devan yang lagi-lagi bersikap dingin, Gita mendecak, "ih Devan, kenapa sih galak banget sama gue? Udah sih disini aja ngapain pindah-pindah lagi, capek tau."
Devan menatap Gita dengan sorotan mata yang terlihat santai namun menusuk. "Gua gak minta lo buat ngikutin gua," katanya datar, "lepasin." Ujarnya sekali lagi. Menyadari sikap asli Devan mulai keluar, Gita lantas mengatubkan bibirnya rapat-rapat. Perlahan tangannya mulai melepaskan lengan Devan. Dia tidak mau memaksa Devan karena takut kalau cowok itu akan berbuat kasar padanya. Walaupun Devan tidak pernah mengasari perempuan tapi tetap saja Gita juga takut.
Nela dan Anna yang masih duduk di sana lantas saling pandang. Mereka tidak mau pindah tempat karena selain malas, mereka juga tidak enak kalau harus pindah tempat padahal masih ada Gita di sana.
Sementara itu, Devan baru saja ingin bergegas pergi dari sana sebelum akhirnya niatnya tersebut dia urungkan ketika Gilang dan Bagas tiba-tiba saja berlari ke arah meja mereka dengan tampang panik. Keduanya penuh dengan peluh sampai terlihat kesulitan barang untuk bernapas saja.
"Van— hosshh.. hoss.. itu— depan gerbang—"
Mendengar perkataan Gilang yang tidak jelas, Devan lantas berujar, "kenapa?"
"Sekolah— di.. serang, Van. Kayaknya sama anak SMA 7." Jawab Bagas menimpali.
Mendengar hal itu, tak hanya Devan yang terkejut tetapi juga Maxime dan juga Bondan, "serius lo, Gas?!" Tanya Maxime tidak percaya.
"Beneran lah— bego! Ngapain gua boong si." Tukas Bagas kesal sendiri.
DUARR!!
Baru selesai Bagas bicara begitu, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan petasan dari luar gerbang sekolah. Kantin memang letaknya sangat dekat dengan gerbang makanya suara ledakan tersebut terdengar sangat jelas memekakan telinga. Suara jeritan histeris dari para siswi yang berada di dekat lokasi ikutan terdengar seusai suara ledakkan tersebut. Tanpa perintah semua siswa cowok lantas tidak pakai basa-basi lagi. Mereka tahu itu merupakan sinyal. Sinyal kalau sekolah mereka akan diserang. Ini merupakan suatu tradisi tahunan yang selalu terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle
Teen Fiction[TAMAT] Dia dingin, posesif, sulit ditebak seperti cuaca dan terkesan angkuh. Dunianya begitu abu-abu, sampai akhirnya dia menemukan seseorang yang membuat dunianya menjadi lebih hidup. Alatha. Seorang gadis yang ternyata mampu menaklukan hatinya ya...