49. Bungkam

869 47 26
                                    

Harusnya aku tahu, aku tidak seharusnya meremukan hati seseorang yang telah memberikan hatinya secara sukarela kepadaku.
-Struggle
*******

   "THA, mereka ke sini, Tha!" Anna menyenggol lengan Alatha yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua sedang berada di kantin di jam istirahat pertama hari ini. Tadi Nadin bilang kalau dia tidak sedang ingin ke kantin karena sedikit tidak enak badan. Sementara Nela pamit ke tempat fotokopi untuk memfotokopi beberapa dokumen terkait surat-surat pindahnya dari sekolahnya yang lama karena Bu Feranda bilang ada beberapa dokumen yang kurang lengkap.

  Terlihat, Devan dan dua orang temannya —Maxime dan Bondan— tengah berjalan mendekat ke tempat Alatha dan Anna duduk. Alatha sudah menceritakan tentang Devan yang memintanya untuk memberi jawaban tentang perasaannya ke Devan pada Anna.Tapi sialnya Alatha belum sempat menceritakan ini pada Nela, karena belakangan ini cewek itu selalu sibuk mengurus surat-surat pindahan yang belum sempat dia selesaikan ketika baru pindah ke sekolah ini. Padahal bisa dibilang Nela sangat ahli dengan urusan semacam ini.

  Alatha kembali menatap takut-takut ke arah Devan dan teman-temannya. Devan terlihat memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana abu-abunya lalu ketika sampai di tempat Alatha dan Anna dengan santai menatap Alatha, "Pagi." Sapa Devan.

  Alatha meletakkan kembali selembar roti bakar yang tadi hendak dimakannya kemudian tersenyum kecut menatap Devan lalu bergumam, "p-pagi." Katanya.

  Devan tersenyum kecil, menatap Alatha lamat-lamat kemudian ikut duduk berhadapan dengan Alatha. Pandangannya sama sekali tidak berpaling ke arah lain, hanya fokus menatap Alatha. "Gimana, udah dipikirin baik-baik?" Tanya Devan kemudian pada Alatha.

  Alatha lantas menjadi salah tingkah dalam sekejap. Devan terlalu cepat dapat memprediksikan ekspresinya saat ini. Dia pasti tahu kalau semalaman Alatha juga tidak bisa tidur karena memikirkan hal ini. Ah! Harusnya hari ini dia tidak usah datang ke kantin. Sudah tahu Devan pasti akan mencarinya tapi dia malah menyerahkan diri untuk dapat berhadapan dengan Devan di tempat ramai seperti kantin ini. Ya, kalau bukan karena dia sudah kelaparan, dia tidak akan mau datang ke sini kalau harus bertemu dengan Devan dan membahas soal masalah ini.

  "Em.. g-gak tau." Kata Alatha gugup. Dia menatap cemas Anna sementara Anna hanya bisa mengangkat kedua bahunya acuh.

Devan mengernyitkan dahinya lalu berkata, "kenapa gak tau?" Tanya Devan lagi. Alatha diam tak berkutik. Degupan jantungnya makin berdegup kencang. Alatha takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Bila Devan menyatakan perasaannya padanya saat ini juga, di kantin. Sudah pasti akan menjadi tontonan banyak orang dan pasti akan sangat memalukan bagi Alatha. Semoga saja Devan tidak berniat begitu.

  Melihat Alatha tidak lagi bersuara, Anna menyenggol lengan Alatha lalu berbisik, "Tha, cepetan jawab." Alatha semakin salah tingkah. Kakinya mendadak gemetaran. Anna bukannya menenangkannya malah ikut membuat dirinya semakin kalang kabut.

  "Mau jawab apa enggak?" Tanya Devan lagi tidak sabaran. Baginya Alatha terlalu membuang-buang waktu. Atau sengaja mengulur waktu?

  Alatha menatap Devan ragu, mungkin ada baiknya jika dia bicara langsung dengan Devan di tempat lain. Karena di sini sangat ramai dan Alatha tidak mau jadi pusat perhatian. "K-kita ngomong di tempat lain aj-"

  "Perhatian semuanya!" Belum sempat Alatha meneruskan kata-katanya, tiba-tiba saja Maxime berseru nyaring di seluruh penjuru kantin. Di detik yang sama semua pengunjung kantin segera menghentikan aktivitas mereka dan kini setiap pasang mata tengah tertuju ke arah mereka. Melihatnya, desiran darah Alatha seolah-olah mendadak berhenti mengalir berikut juga pompaan jantungnya. Entah apa yang sedang dilakukan Maxime saat ini. Tapi yang jelas ini bukanlah hal baik.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang