88. Struggle (1)

481 38 19
                                    

"Cinta butuh perjuangan. Tidak hanya sepihak, tetapi dua pihak. Karena cinta adalah soal memberi dan menerima"
-Struggle
*****

ENTAH sudah berapa lama Alatha, Anna, dan juga Nadin berada di perpustakaan sekolah siang ini. Mereka bertiga terpaksa bertahan di sini untuk menemani Nela yang tidak henti-hentinya menangis sejak datang ke kelas pagi ini sampai bel istirahat pertama berbunyi. Bahkan tadi saat di kelas ada guru Nela duduk di bangku paling belakang sambil menangis terisak dengan melipat tangannya dan membenamkan wajahnya di sana agar tangisnya tidak terdengar. Ini semua terjadi karena Nela sangat kecewa terhadap Maxime yang telah tega membohonginya.

  Kemarin pada saat SMA 7 menyerang, Maxime bilang kalau dia tidak ikut bentrok, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Begitu mendengar kabar dari Bu Feranda kalau sebagian siswa terpaksa dibawa ke kantor polisi masuk rehabilitas karena kasus kenakalan remaja —atau bisa disebut tawuran— dan begitu tau Maxime juga ikut terlibat, Nela mendadak geram sendiri.

   Dia tidak menyangka Maxime mampu membohonginya seperti itu padahal dia sudah janji tidak akan ikut. Nela melarangnya karena memang dia khawatir hal buruk akan terjadi padanya kalau sampai ikut tawuran. Ternyata Maxime memang tidak bisa menghargainya. Bahkan cowok itu tidak mengindahkan ancaman dari Nela yang mengatakan kalau sampai Maxime ikut tawuran maka Nela akan memutuskan hubungan mereka.

  "Nel, udahlah jangan nangis terus. Lo gak capek apa dari pagi nangis melulu?" Tukas Nadin sambil mengusap-usap punggung Nela.

  "Tau lo, Nel, gue aja ampe capek ngeliatin lo nangis. Banyak banget stok air mata lo dari pagi sampe sekarang gak abis-abis." Sambar Anna nyinyir.

Nela menyeka air matanya menggunakan sapu tangan miliknya yang sudah basah kuyub akibat air matanya sendiri, kemudian sambil terisak dia berkata, "g-gue— m-masih.. hiks.. eng-gak nyangka Maxime b-bohong sama g-gue—huaa.." tangis Nela kembali meledak. Untung saat ini perpustakaan sedang sepi. Hanya ada mereka berempat di dalam. Penjaga perpustakaan juga sedang istirahat di luar.

  "Sssstt.. Nela ah! Udah dong jangan nangis lagi, pengeng kuping gue dengernya." Omel Anna tidak tahan lagi. Namun bukannya berhenti, tangis Nela malah makin menjadi.

  Sampai akhirnya, Nela mau tidak mau harus menghentikan tangis sesegukannya ketika pintu masuk perpustakaan tiba-tiba saja ada yang mengetuk dari luar. Mata keempatnya lantas teralih tatkala pintu perpustakaan tiba-tiba terbuka lebar. Mereka sempat terkejut begitu sadar kalau orang yang barusan membuka pintu ternyata adalah Leon.

"Hai semuanya." Sapa Leon ketika sudah masuk ke dalam perpustakaan dan mendekat ke arah Alatha dan teman-temannya.

"Hai, Kak Leon." Sahut mereka kecuali Nela yang memilih untuk membenamkan wajahnya ke atas meja perpustakaan sejak Leon memilih untuk masuk ke dalam tadi. Dia malu kalau sampai Leon melihat dia menangis.

Pandangan Leon teralih pada Nela, "itu Nela kenapa?" Tanya Leon.

"O-oh ini, Kak, biasalah masalah cowok." Jawab Anna seadanya.

Leon ingin bertanya lebih jauh, tetapi dia tidak mau kesannya mencampuri urusan orang lain. Akhirnya tanpa basa-basi lagi, dia mulai memusatkan pandangannya pada Alatha. "Tha, bisa ngomong sebentar?" Tukas Leon.

  Alatha mendongak menatap Leon, "mau ngomong apa, Kak?" Tanya Alatha.

  Leon melirik ke arah teman-teman Alatha sebentar sebelum akhirnya kembali berkata, "di luar aja boleh?" Tanya Leon.

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang