6

323 50 20
                                    

Kun langsung memasuki kamarnya begitu ia sampai.
Mengabaikan Doyoung dan juga Johnny yang malah tenggelam dalam acara makan malam mereka, Kun beralasan ingin tidur lebih cepat saat Johnny menanyainya tadi.

Mengabaikan pula tatapan menghunus dari Taeyong yang tak sengaja ia temui di tangga, ia bersikap acuh meski tatapan mata Taeyong terus membuntutinya sampai ia menutup pintu kamar dengan pelan.

Kun tahu, Taeyong takkan suka dengan tingkahnya barusan. Menolak makan malam bersama setelah berhasil melewati satu masa pelik, sebagai bentuk rasa syukur.

Tapi tubuhnya benar-benar tidak bisa di ajak kompromi. Lelah dan lemas yang bersatu, belum lagi ditambah pikiran yang kacau semakin memperkuat keinginan Kun untuk segera terjun bebas ke alam mimpi.

Membanting tubuhnya pada kasur, Kun lalu meraih selimut untuk kemudian menggulung diri sambil memainkan ponselnya yang selama beberapa minggu ini ia acuhkan.

Ada puluhan pesan masuk dari teman-temannya yang menanyakan soal kondisinya paska kecelakaan. Ada juga satu pesan dari Sicheng, bertanggal hari ini dan isinya hanya pesan singkat agar Kun tidak lupa meminum obat.

Omong-omong tentang Sicheng. Ternyata ia tak seburuk yang Kun kira. Meski kadang wajahnya tak berekspresi lebih, ia tetap baik dengan caranya sendiri. Ia pria yang baik di mata Kun, pria bertanggung jawab yang tetap mau memperlakukan Kun dengan baik meski ia sempat menolak di awal.

Kun tidak mau menyalahkan Sicheng. Ia tahu, di muka bumi ini saat zaman sudah semakin canggih dan teknologi semakin melejit, takkan ada satupun orang yang mau di jodohkan karena iming-iming perjanjian lama.

Sayangnya, kesialan itu malah menimpa Sicheng juga dirinya. Mereka sama-sama terjebak dalam aturan keluarga dan tak punya kuasa untuk menolak. Sama-sama berusaha pula untuk mencintai pasangan masing-masing.

Lelah memikirkan ini dan itu Kun akhirnya terpejam. Dan tak menyadari kehadiran Johnny yang memasuki kamarnya.

Mendekat, Johnny kemudian membetulkan posisi tubuh Kun agar tidur lebih nyaman. Menarik selimut sampai batas leher, ia mengusap rambut Kun dengan lembut.

"Semoga mimpi indah."

Ia bergumam pelan seraya menatap wajah Kun. Wajah pucatnya tampak tenang saat terlelap.

Lalu, sebersit rasa bimbang kembali menyambangi hatinya. Akhir-akhir ini Johnny sering merasa gelisah tak menentu. Seolah ada badai yang cepat atau lambat akan datang menghampiri.

Tapi sebagai kakak tertua, Johnny tentunya tak pernah sekalipun menunjukkan, cukup menggenggamnya seorang diri. Terkadang ia berpikir, mungkin saja rasa gelisah ini hanya efek trauma keterkejutannya kemarin akibat kecelakaan itu.

Setelah kedua orang tuanya meninggal, dan menyisakan mereka berempat. Secara otomatis segala tanggung jawab dan urusan di serahkan padanya. Mau tidak mau, siap tidak siap ia harus menanggungnya. Menumpu seluruh beban pada pundak sendirian. Kegelisahan ini tak boleh mengganggu pikirannya, masih banyak hal yang perlu di lakukan. Masa depan adik-adiknya lebih utama di banding apapun. Ia tidak boleh lemah dan terpuruk.

Melirik lagi pada Kun, nafasnya nampak teratur dan tenang. Johnny pun mematikan lampu kamar, sengaja menyisakan sedikit cahaya dari sebuah lampu pada nakas.

Ia kemudian melangkah pergi, setelah menutup pintu tanpa menghasilkan suara menganggu.

                            ***

"Kun sudah tidur?"

Johnny terperanjat, saat menoleh dan mendapati Taeyong sedang berdiri di sampingnya. Satu kebiasaan yang ia benci. Bocah ini senang muncul tiba-tiba seperti hantu dan mengagetkannya.

"Sedang apa kau disini? Kenapa belum tidur?"

Memelankan suaranya, Johnny kemudian berjalan menuju perpustakaan pribadinya di ikuti Taeyong di belakang.

"Aku belum mengantuk, atau mungkin tidak bisa tidur."

Ada kegamangan dalam kata adiknya, dan Johnny menoleh keheranan.

"Tidak biasanya, apa yang kau khawatirkan? Pagelaran busana mu masih lama, kan?"

Taeyong memutar bola matanya, "Ini bukan tentang pagelaran busana ku, John. Aku sedang memikirkan hal lain."

Taeyong berhenti tepat di hadapan Johnny yang sudah duduk angkuh di atas singgasana nya.

"Aku ingin membicarakan sesuatu," Berhenti sejenak, Taeyong berusaha membaca ekspresi kaku di wajah kakaknya. Seumur hidup ia tidak pernah bisa membaca perasaan Johnny. Wajah kakunya bagaikan topeng yang tak bisa di lepas. Terlalu dingin seperti kutub es.

"Tapi berjanjilah kau tidak akan marah padaku," Karena jujur dalam hati kecilnya Taeyong tetap merasa ketakutan menghadapi kenyataan ini.

Johnny sendiri tetap bersikap acuh. Ia malah membuka tumpukan dokumen dan mulai memeriksanya satu-persatu. Tak memperdulikan soal waktu juga kehadiran Taeyong di sekitarnya.

"Bicaralah, aku mendengarkan." Dengan itu Johnny mempersilahkan Taeyong bercerita. Padahal jelas. Dari tingkahnya saja Johnny terlihat sangat tidak perduli.

"Lupakan saja. Aku mengantuk, kau bisa lanjut bekerja. Selamat malam."

Melangkah pergi, Taeyong meninggalkan Johnny dengan hentakan keras pada setiap langkah. Ia kesal dan takut juga bimbang, tapi Johnny malah bersikap acuh dan itu semakin memperbesar ketegangan yang Taeyong rasa.

Kembali ke kamarnya, ia kemudian menutup pintunya rapat. Menguncinya dengan keras, ia lalu berjalan menuju nakas. Membuka salah satu lacinya, dan mengeluarkan sebuah amplop dari sana.

Ia duduk, dengan tangan gemetar. Amplop itu berisi data hasil tes DNA yang di ambil dari sampel darah Kun juga dirinya, Johnny, dan Doyoung. Disana tertulis dengan jelas, bahwa Kun memiliki DNA yang berbeda dengan mereka bertiga.

Mengingat kembali pada hari belakangan, tes itu di lakukan karena dokter menemukan kejanggalan saat memeriksa golongan darah milik Kun dan Doyoung. Golongan darah mereka berbeda. Terpaksa Kun mendapat darah dari hasil transfusi, bukan donor dari anggota keluarga.

Tak cukup dengan itu, Sehun—si dokter—memperkuat asumsi buruk Taeyong dengan melakukan tes DNA. Dan hasilnya mencengangkan. Kun memiliki DNA yang hampir sembilan puluh sembilan persen berbeda. Artinya sudah jelas, seperti dalam kisah drama, dahulu ada kesalahan yang terjadi saat ibunya melahirkan adik bungsunya.

Bahwa bayi yang mereka bawa pulang, nyatanya bukanlah adik kandung mereka.

"Aku harus memulai dari mana."

Taeyong bergumam sendiri. Dalam cahaya redup ia menimbang-nimbang tentang langkah tepat yang harus di ambil.

Memberitahu Doyoung pertama kali bukanlah langkah bijak, daripada memberi solusi adiknya itu justru akan menyerangnya dengan umpatan dan mengatainya habis-habisan.

Satu-satunya yang tersisa tinggal Johnny seorang. Biarlah ia tidak berhasil malam ini, toh masih ada malam lain untuk mencoba. Setidaknya meskipun sedikit dingin, pria itu lebih bisa berpikir logis di banding mengandalkan emosi.

Tinggal menunggu waktu yang tepat, dan Taeyong akan segera meluruskan segalanya.












                           ~~~












VOTE n KOMEN kuy ❤

Sengaja up HARI ini karena saya bakal libur up dulu untuk beberapa hari :'D

Yay!!!

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang