24

244 42 41
                                    

Semilir angin yang membawa aroma segar pesisir laut berhasil membangunkan Taeyong dari tidurnya.

Membuka matanya perlahan, ia hampir memekik senang saat melihat bayangan samar lautan biru dari balik pohon-pohon yang tumbuh berjajar di samping jalan.

Hampir saja ia bertanya pada Yuta yang masih setia menyetir tanpa lelah, tapi urung di lakukan saat ia melihat pria itu begitu serius dan tak menoleh samasekali dari arah jalanan.

Sadar, dari awal perjalanan panjang ini bermula belum sekalipun ia mendapat giliran untuk menyetir.

Selain karena Yuta selalu melarangnya karena menurutnya ini sudah menjadi bagian dari tugasnya, mata-matanya itu juga beralasan jika Taeyong tak boleh terlalu kelelahan.

"Kau ingin bertemu adikmu, kan? Karena itu, kau tak boleh kelelahan dan usahakan agar kondisi tubuhmu tetap stabil. Kita akan sering melakukan perjalanan jauh kesini, kau harus mulai membiasakan diri."

Itu yang di katakannya, saat mereka hendak berangkat tadi. Dan lagi-lagi Taeyong di bungkam, oleh pesona sang mata-mata.

Bahkan saat tangan kekar itu merambat naik menuju salah satu kancing kemejanya yang terbuka, ia tetap diam mengamati dan menikmati tanpa niatan untuk pergi.

Dan saat kancing itu perlahan di rapatkannya, secara naluriah Taeyong menengadah menatap mata itu, "kancing bajumu terbuka satu, kau harus mengancingkannya dengan benar."

Dia tertawa jenaka setelahnya. Seakan perlakuan penuh buaian barusan bukanlah apa-apa baginya dan hanya angin lalu.

Taeyong kemudian terdiam lagi sembari menyentuh kancing yang baru tersentuh si mata-mata.

Ia kemudian menatap Yuta, yang tengah berdiri tegap dengan guyuran cahaya fajar pada tubuhnya yang separuh telanjang.

Saat ia masuk ke kamar Yuta tadi, ia mendapati sebuah keterkejutan karena untuk pertama kalinya ia melihat Yuta yang hanya berselimutkan handuk pada pinggang.

Tetesan air yang mengalir dari rambut menuju otot-otot perutnya seakan menggoda pertahanan Taeyong. Mati-matian ia menahan diri, agar Yuta tidak menyadari kelemahannya.

Berniat mengalihkan pembicaraan kemudian, Taeyong nyatanya tetap tak mampu mengalihkan atensinya, saat Yuta menurunkan handuknya dan hanya menyisakan sebuah celana dalam saja.

Untuk satu hal itu, Taeyong tak mampu berkedip dan merasa lumpuh seketika. Dengan tak tahu malu pula, pria itu malah mengenakan sebuah jins di hadapannya. Tanpa ucapan permisi sedikitpun.

Taeyong berdeham, berusaha menghilangkan rasa kering pada kerongkongannya karena pemandangan yang ia lihat.

Tapi ketimbang menanggapi, Yuta malah sibuk memilih pakaian yang hendak ia kenakan untuk menemani jins Armani hitamnya.

Sadar kalau pria itu sedikit kebingungan memilih pakaian yang cocok, Taeyong pun menghampirinya untuk memberi bantuan.

Sebagai seorang perancang busana, urusan memadu padankan pakaian bukanlah hal yang sulit.

Semudah menyelipkan rambut pada telinga, tak sampai hitungan menit di tangan lentiknya kini telah terpilih sebuah kemeja berwarna hitam dengan sentuhan motif yang begitu halus, yang takkan nampak jika kita melihatnya dari kejauhan.

Bersama dengan sebuah kacamata keluaran Cartier, Taeyong amat percaya kalau Yuta akan tetap tampan walau banyak menggunakan warna gelap.

"Pakai ini, aku menunggumu di luar."

Menyerahkan pakaian pilihannya pada dekapan dada telanjang Yuta, Taeyong tersenyum simpul sambil melenggang pergi.

Yuta menatapnya tanpa kata, dan saat ia menyadari ketidakberadaan Taeyong di sekitarnya, barulah ia memakainya.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang