27

230 39 38
                                    

Harum aroma kopi memenuhi ruang. Bersatu dengan hangatnya suasana di perapian.

Kilau sinar mentari yang menerobos masuk, seolah saling berebut untuk ikut menghangatkan.

Lantai kayu yang nampak berkilau juga memberikan kesan hangat dan nyaman.

Tapi sayangnya, semua itu masih belum cukup untuk membuat Yuta mengulas senyuman hangat.

Segala kehangatan yang begitu manis ini terasa belum mampu mengindahkan kebingungan di hatinya.

Tentang ia yang di buat terkejut saat mendapati Taeyong tengah terlelap dalam dekapannya, juga tentang sepucuk surat yang di tinggalkan bersama seporsi sarapan untuknya di atas meja.

Kedua lantaran itu terasa bersahutan, menyiksa pikirannya hingga membuatnya tak bisa menikmati hari.

Saat ia sedang berusaha menghapuskan ingatan tentang wajah pulas Taeyong yang tersaji di hadapannya, juga saat dimana ia menyelimuti Taeyong dengan lembut, karena dorongan dari hati yang terenyuh ketika mendapati tubuh ringkih itu menggigil kedinginan.

Dan kini ia bagai di tampar saat membaca sepucuk surat yang menyampaikan bahwa Taeyong pergi menuju kediaman adiknya.

Suara hati meneriaki; Apa sebenarnya yang di pikirkan orang itu sampai berani bertingkah sendiri tanpa pengawalan darinya?

Tidakkah ia bisa bersabar menunggu sampai waktu yang tepat tiba untuk mengunjungi adiknya itu?

Perdebatan rasa antara kesal dan khawatir memenuhi hatinya.

Ingin menyusul pun rasanya tak berani, karena bagaimanapun ia hanya suruhan yang tidak lain tidak bukan bisa di artikan pula sebagai bawahan.

Ia tidak punya kuasa untuk menentang perintah atasannya.

Meskipun terkadang ia gemas sendiri, tapi tidak menutup kemungkinan Taeyong akan memarahinya jika ia bertingkah nekad dan lancang karena sudah berani merusak acaranya.

Karena omelan Taeyong lebih seram dari apapun di muka bumi ini.

Seolah kedua telinganya bisa lepas dalam keadaan hangus di buatnya.

Yuta meringis.

Dari pada harus mengalami gangguan pendengaran di usia muda, lebih baik ia menikmati kopi buatan atasannya ini—walaupun terlalu manis—yang telah repot-repot di siapkan pada pagi buta saat dirinya kembali terlelap.

Biarlah Taeyong menikmati acara berkelananya.

Ia akan duduk disini, menunggu sampai orang itu pulang dan membawa segudang cerita yang siap di perdengarkan untuknya.

                            ***

Jajaran bangunan tua nan lapuk, mendekap Taeyong dari kedua sisi.

Kabar yang mengatakan bahwa Elisabeth Street merupakan kota tua di pesisir biru terasa benar adanya dan bukan isapan jempol belaka.

Puluhan bahkan ratusan bangunan berlantai tingkat yang terlihat tua dan kumuh memenuhi jarak pandangan.

Orang-orang yang berlalu lalang, seakan memperkuat asumsinya yang menilai bahwa Elisabeth Street adalah kawasan padat penduduk.

Taeyong tetap berjalan pelan, dengan secarik kertas alamat yang setia di genggamnya.

Elisabeth Street No.18

Adalah alamat yang ia dapatkan dari adiknya, saat ia bertukar pesan malam tadi.

Alamat yang pastinya sudah di ketahui oleh Yuta, tapi enggan ia tanyakan karena keinginannya yang begitu besar untuk menemui adiknya seorang diri.

Malam pun ia masih ingat. Adiknya bernama lengkap Ten Olivier—yang seharusnya Ten Eliezer—tinggal seorang diri, karena kedua orangtuanya baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang