10

277 55 15
                                    

Sesuai dugaannya, pembicaraan mengenai tes DNA ini takkan berjalan mulus sesuai keinginan.

Taeyong pun memutuskan kembali ke rumah dengan perasaan tak karuan. Hampir melewati dapur begitu saja saat ia mendengar suara Doyoung memanggilnya.

Memutar badan, ia tahu ini takkan mudah. "Kau mau menanyakan apa, huh?"

Dari matanya, Taeyong bisa melihat sisa air mata. Spekulasi tentang Doyoung yang menguping pertengkarannya dengan Johnny tadi seketika melintasi pikirannya. "Kenapa dengan matamu?"

Memilih berpura-pura tidak tahu, jauh dalam hati ia berharap Doyoung membatalkan niatnya untuk bertanya. Bukannya takut, Taeyong hanya pesimis. Karena apa yang di pilih Doyoung pasti bertolak belakang dengannya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan dan jawab pertanyaanku dengan jelas. Apa maksud pertengkaranmu dengan Johnny tadi?"

Tak seperti biasanya, Doyoung berbicara dengan suara sangat lirih. Kesedihan yang tersirat di setiap katanya sangat bisa Taeyong rasakan. "Seperti yang kau dengar. Aku tidak ingin menjelaskannya lagi,"

Menatap Doyoung dengan ragu, suasana di sekitar mereka menjadi sangat canggung. Seolah hari-hari cerah yang sudah di lalui hanyalah mimpi belaka, "Tak ku sangka kau berubah jadi begitu kejam dalam semalam. Ku bertanya, apa kau akan mengusir Kun secepatnya?"

Di tanya seperti itu Taeyong hanya bisa bungkam. Memikirkan mengusir Kun saja sudah membuatnya meringis. Ia bukan takut pada Kun, anak itu terkenal begitu pasrah dan pengalah, suatu yang mustahil Kun akan menghajarnya, tapi bagaimana dengan Johnny dan Doyoung? Dua orang itu mungkin saja akan membunuhnya dengan tangan sendiri.

"Aku takkan mengusirnya," Menggantung, Taeyong tak tahu harus menjelaskan apa.

Doyoung tertawa meremehkan. Air matanya mulai menggenang lagi, "Kau takkan mengusirnya, tapi akan menunggu ia pergi sendiri setelah berhasil membawa adik impianmu kemari."

Benar. Mungkin itulah yang dipikirkan hati kecil Taeyong. "Itu kenyataannya Doyoung,"

"Aku tak ingin dan tak pernah memintamu untuk repot-repot mengungkapkan ini semua. Aku tak perduli siapa Kun sebenarnya, di mataku dia tetap adikku. Tolong jangan rusak semua yang sudah ada. Hidup kita sudah cukup damai setelah kepergian ayah beberapa tahun lalu. Kita bisa melupakan fakta itu dan menjalani hari seperti biasa, anggap saja semua ini kuasa takdir. Kumohon berhentilah memaksakan kehendakmu, Taeyong."

Doyoung memohon, berharap Taeyong sudi menurut dan kemudian berubah pikiran. Tapi bukan Taeyong namanya jika tidak sependapat dengan Doyoung,

"Kau bilang aku memaksakan kehendak? Kau sadar kan kalau ini bagian dari kewajibanku? Kekeliruan ini tentang hubungan darah dan keluarga Doyoung! Kau tak boleh menganggapnya remeh, status di Eliezer tidak bisa sembarangan di isi oleh orang lain. Kun tidak berhak untuk itu, dan di luar sana ada adik kandung kita yang tidak tahu seperti apa rupa dan kehidupannya. Ini tentang ikatan darah! Aku tidak bisa diam saja! Suka ataupun tidak apa yang seharusnya ada disini, harus tetap berada disini. Dan Kun sudah lebih dari cukup mendapatkannya selama dua puluh tahun terakhir. Mungkin jika ayah masih berada disini pun, ia akan melakukan hal yang sama denganku."

Doyoung menggeleng, "Tidak. Aku yakin ayah tidak akan melakukan apa yang kau lakukan. Setidaknya ayah akan memikirkan perasaan Kun juga. Kau keterlaluan Taeyong! Kau bersikap seakan Kun lah yang bersalah disini, padahal ia tidak mengetahui apapun. Ia korban. Sama seperti kita. Apa kau tak pernah sedikitpun memikirkan bagaimana perasaan Kun kalau sampai ia tahu ketiga kakaknya bersitegang karena statusnya yang tertukar? Apa kau tak pernah memikirkan itu? Aku tidak melarang mu untuk mencari keberadaan adik kita, tapi tolong pikirkan juga perasaan Kun. Andaikan ia mengetahui ini, bayangkan saja Kun akan jadi pihak yang paling terluka. Selama ini yang ia tahu, ia adalah Eliezer. Aku tak sanggup membayangkan menukar posisi Kun semudah menukar barang! Apa kau tak pernah memikirkan itu Taeyong!"

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang