56

193 32 41
                                    

Selain Tuhan. Di dunia ini, tak ada satupun yang bisa mencapai batas sempurna.

Ten kini memahaminya.

Ia merasakannya sendiri.

Bahwa kemenangan yang telah diraihnya
beberapa waktu lalu, harus dibayar dengan sebuah kepahitan yang setimpal.

Di saat ia telah menemukan tempatnya untuk pulang, ancaman ditinggalkan oleh sang sahabat terasa mulai membayangi.

Lebih dari itu. Mungkin, mulai saat ini Lucas akan berbalik membencinya.

Karena tak ada hal lain selain kebencianlah, yang pantas diterima seorang perusak sepertinya.

"Seagung itukah kisah cinta pertamamu sampai kau tak punya waktu untuk memikirkan perasaan orang lain? Kenapa kau seperti buta arah? Apa secuil kenangan itu lebih berarti dibandingkan hati nurani? Ku tanyakan padamu. Apa kau akan mati jika menolak perjodohan itu? Apa dunia akan memburu nyawamu?"

"Ten, jawab pertanyaanku. Apa Sicheng membalas perasaan cintamu? Apa dia menggubris keberadaanmu? Apa dia mengingat saat itu, saat kalian bertemu? Apa dia ingat kalau kau adalah penari yang pernah ditolongnya dulu? Apa dia mengingat hal remeh yang selalu kau puja seumur hidupmu?"

"Sebenarnya apa yang kau perjuangkan? Sampai kau tega menghancurkan perasaan seseorang. Apa yang kau harapkan dari pria itu? Mengingatmu, untuk kemudian jatuh cinta padamu?"

Jelas. Ia tak memiliki kemampuan juga kata untuk membalas rentetan pertanyaan itu.
Ia tetap membisu. Terserang ribuan duri menyakitkan pada hati.

Lucas yang ada di hadapannya kini, seolah bukan Lucas yang dikenalnya dahulu.

Dengan lantangnya sang sahabat mengungkapkan segala kemustahilan yang selalu jadi ketakutannya selama ini.

Ia takut Sicheng takkan pernah mencintainya.

Ia takut tak mampu membuat Sicheng jatuh cinta.

Sebagimana Sicheng membuatnya jatuh cinta.

Ada setitik air mata dalam gelengan lemah itu, "Kau tentunya tahu bagaimana kegilaanku pada saat-saat itu. Meskipun, untuk sebagian orang kenangan itu tak lebih dari hal sepele. Tapi, untuk orang kecil sepertiku itu bagaikan sumber kehidupan. Pemacu agar aku tetap bertahan menghadapi kehidupanku. Lucas, kehidupanku tidak semudah kehidupanmu. Kalau dengan amarah seperti ini, kau mana mampu memahami penderitaanku."

"Kau takkan mengerti kenapa aku bisa sekeras hati begini. Aku juga ingin memperjuangkan hatiku," balas Lucas.

Lagi, Ten mencoba menampik tatap kemarahan Lucas. Dalam dan berani ia menatap sepasang mata itu, tak lebih dari sekedar ingin membuat Lucas mengerti dan memahami dirinya.

"Kau memperjuangkan hatimu, dengan menghancurkan satu hati yang lain."

Kini tak ada lagi tatapan benci. Semua itu sudah berlalu dan berganti dengan sorot penuh kesedihan.

Dan Ten tahu. Kesedihan itu bukanlah untuknya.

"Haruskah aku memujimu?"

Lucas menaikkan sebelah alisnya. Bahu kokohnya sedikit turun, seolah ia tengah membungkuk.

Tak ada sifat ambisius. Tak ada sifat pejuang tangguh. Tak ada pula arogansi.

Lucas yang di hadapkan padanya sekarang terlalu diliputi mendung yang mendalam.

Ten, seolah sedang berhadapan dengan orang lain.

Sesungguhnya, hatinya menuai puji. Betapa dahsyatnya pengaruh Kun pada sahabat berhati bekunya ini.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang