53

205 40 32
                                    

Hari sudah beranjak siang saat Ten mendengar ketukan pada pintu kamarnya.

Ritme ketukannya terdengar asing. Tidak pelan dan juga kencang, tapi lebih cenderung ke arah penuh perhitungan yang pas.

Bunyinya sangat rapi, tidak kencang seperti Taeyong ataupun nyaring seperti Yuta.

Ten beranjak dari tempat duduknya dan dengan langkah pelan berjalan menuju pintu.

Ketukannya berhenti tepat saat Ten memutar kenop. Dan saat pintu terbuka, ia terperangah karena rupanya orang itu adalah Kun.

Orang yang tak pernah ia kira akan menemuinya, sekaligus orang yang paling ia hindari.

Karena sorot tatapan penuh luka itu selalu mencambuk hatinya dengan keji.

Seakan tak pernah berhenti mengingatkan bahwa luka itu di ciptakan olehnya.

"Punya waktu sebentar?"

Kun bertanya lirih. Suaranya seperti tercekat separuh di tenggorokan.

Ten mengangguk. "Masuklah,"

Ten menggeser tubuhnya sedikit, memberi ruang pada Kun untuk memasuki kamarnya.

Tapi Kun menggeleng menolak, "tidak disini saja. Aku hanya butuh waktumu sebentar, dan ingin membicarakan sesuatu." Jelas Kun.

"Ada apa memangnya? Ah—" Ten tiba-tiba teringat satu hal, "—apa kau tidak menyukai caraku berterimakasih—"

"—tidak!" Kun memotong cepat, "aku menyukainya. Kopi buatanmu bahkan rasanya enak, harusnya kau tidak perlu repot-repot membuatkanku kopi."

Ten tersenyum tipis. "Tidak apa, anggap saja itu sebagai ucapan terimakasih dariku. Kalau bukan karena kau, Sicheng takkan pernah mau melakukan fitting  bersamaku."

Ten mengadu. Miris karena dengan tidak tahu dirinya ia melibatkan Kun kedalam masalahnya, setelah sebelumnya merebut Sicheng juga kehidupannya.

"Maaf merepotkanmu."

Ten mengatakannya dengan tatapan yang menunduk lagi. Tanpa di sadarinya Kun menatapnya dengan penuh rasa bersalah.

Kau hanya tidak tahu, apa yang Sicheng lakukan sebelum ia setuju dengan permintaanku...

Tuhan maafkan aku...

"Sudahlah, lagipula itu bukanlah apa-apa," ucap Kun.

Ten kemudian berani menatap Kun, dari matanya Ten bisa melihat keraguan. "Lalu, apa yang membuatmu kesini? Apa yang ingin kau tanyakan?"

Yah.

Setidaknya sebaik mungkin Ten ingin membalas kebaikan Kun padanya.

"Mmm..." Kun mengigit bibirnya, Ten menunggunya sabar. Dalam hati ia memikirkan hal apa yang ingin Kun ketahui darinya?

"Ten... Bisa kau beritahu aku dimana makam orang tuaku? Aku... Aku ingin mengunjunginya."

Ten membelalak.

Tak pernah mengira Kun akan punya keberanian sebesar itu untuk melihat sebuah kenyataan terpahit di hidupnya.

Dengan mata yang mulai berkaca-kaca lagi, Kun mengutarakan maksudnya.

Sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tak terjatuh di hadapan Ten.

Tapi semakin keras Kun menahannya, sensasi sakit di hatinya malah semakin menjadi-jadi.

Ten menatapnya penuh dengan ketidakpercayaan. Seolah-olah ia sedang mencari kebenaran tentang sungguh-sungguh kah Kun dengan permintaannya?

Kun sendiri, tidak mengulang berkata. Ia rasa ini sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan kesungguhannya.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang