85

115 22 14
                                    

Tanpa merasa perlu untuk mengetahui pengorbanan apa yang terjadi di balik hubungan ‘unik’ adiknya, Taeyong Eliezer meyakini bahwa segala rencana dambaannya akan kesempurnaan sudah hampir selesai.

Seakan semua torehan obsesinya tidak berimbas pada apapun. Ia pun menutup mata untuk melihat Kun yang jelas jadi korban utama di sini. Merasa ini bukan masalah, sebab yang dilakukannya memanglah hal yang seharusnya.

Tak ia permasalahkan juga perkara Ten yang harus bersusah payah mensiasati hubungannya dengan Sicheng di kediaman Alexander. Yang sedang sibuk bersandiwara guna menutupi kenyataan pahit.

Miris. Karena seakan-akan semua pengorbanan kedua adiknya bukanlah hal yang luar biasa menyesakkan. Pun segala kekacauan yang ia buat bukanlah suatu hal yang menjengkelkan.

Ia bertingkah santai. Tetap angkuh dan dingin. Juga tak peduli pada siapapun.

Sungguh untuk dua hal itu saja Taeyong samasekali tak menunjukkan raut kepedulian ataupun rasa bersalah. Ia hanya melihat garis besarnya saja, di mana obsesi dan ambisinya telah sukses ia lakukan.

Dengan harapan akhir, ia akan menemui jawaban berbeda atas segala jeritan hatinya selama ini. Ia sudah sempurna, segala celah kekurangan yang menurutnya bisa menganggu sudah ia perbaiki, seharusnya ia tampak lebih pantas sekarang.

Seharusnya, ia tak lagi memetik kecewa. Pengorbanan ini telah ia lakukan dengan sekuat tenaga. Hingga perasaan dan hati nurani tak lagi ia pedulikan.

Hatinya belum jera. Kemarin ia berpikir, ia masih bisa mencobanya sekali lagi. Membuatnya terlihat di mata orang itu. Setelah bercermin diri, lalu fakta itu terungkap, lantas saja ia merasa semua ini bisa jadi bumerang untuknya.

Kekurangan dalam silsilah keluarga Eliezer yang sempurna, terasa memberi aib, serta merendahkan kastanya.

***

Di hari ini, ia akan menaruh harapan lagi. Berbekal tekad kuat, dan keyakinan bahwa ia telah sempurna. Taeyong Eliezer kembali pada usaha pedihnya mendapatkan cinta.

Persetan soal harga diri, ia tak mau terlalu lama menderita sendiri. Sudah cukup ia yang bersusah payah di sini, memantaskan diri guna bisa bersanding dengan dia yang masih tak bergeming.

Tak bohong bila ia pernah sampai memohon, untuk mengenyahkan segala keraguan dan ia berjanji takkan mengecewakan. Tapi, Yuta Nakamoto tetaplah manusia tak tersentuh dan sulit untuk digapai.

Kendati menurutnya ia telah sempurna, juga sesuai dengan apa yang Yuta pinta selama ini. Pria itu tetap saja buta terhadap perasaannya.

"Kau mencari Yuta?"

Baru satu langkah Taeyong memasuki apartemen si tangan kanan, seorang wanita—yang hanya menggunakan pakaian dalam—menyambutnya dengan senyum miring. Sempat menertawakannya, dan tanpa ragu ia malah berpakaian di hadapan Taeyong yang berdiri kaku dengan wajah tertunduk menahan sesak.

"Dia masih terlelap. Tidur begitu nyenyak setelah semalaman suntuk bergulat denganku," si wanita yang tidak Taeyong ketahui namanya itu, kini tengah memakai lipstik, lalu membetulkan sedikit kerah bajunya. Menutupi tanda memuakkan yang tergambar jelas di lehernya.

"Kalau kau mau bertemu dengannya, kusarankan tunggulah sekitar satu jam lagi. Kasihan, dia butuh waktu untuk mengumpulkan tenaganya," kedipan nakal diberikan wanita itu. Taeyong setia menunduk dengan nafas memburu menahan pedih.

"Nah, anak kecil. Aku pergi, dan tolong sampaikan pada Yuta kalau aku mencintainya. Bye."

Bahkan kalau kau hendak pergi ke neraka pun, aku tak peduli dan akan sangat bersyukur.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang