80

131 27 81
                                    

"Heart..."

Panggilan itu tak lebih bagai peringatan. Kehadirannya, memberi sejuta ketakutan bagi jiwanya yang lelah terluka.

"Sicheng..."

Refleksi cepat dari hati yang mendadak gelisah. Kun lantas bangkit, berdiri kaku menatap pada sepasang mata kelam di hadapannya.

Terlalu sarat akan kerinduan mendalam. Seutas senyum dan tatapan gelap itu menekan jiwanya hingga ke titik terjauh. Seolah ia adalah mangsa, dalam kukungan harimau haus darah. Kedatangan Sicheng malam ini, mengisyaratkan kengerian.

"Mau apa kau kemari?"

Gerak tubuhnya mendadak gemetar. Berjaga-jaga agar sang harimau tidak mampu menjangkaunya. Meskipun, langkah lemah itu seakan tak mengerti kata menyerah. Kun sebisa mungkin menghindarinya.

"Apa salah jika aku datang ke sini? Besok aku akan menikah, heart."

Tidak salah jika dipikirkan. Tapi, firasat tak membisiki hal yang serupa.

"Kau salah karena menemuiku. Seharusnya, kau menemui Ten. Bukan aku."

Penegasan diulang sengaja. Berharap pengertian akan didapat jiwa yang memaksa.

"Apa salahnya kalau aku menemuimu?"

Spontan dirinya terperanjat saat sadar sang lawan sudah berada di depan mata. Hembus nafas terasa berdekatan, kala sang lawan mulai mengikis jarak selangkah demi selangkah.

"Lihatlah, kau bahkan tak mau menatapku."

Sorot mata itu begitu lelah namun mampu menakuti. Alunan suara itu begitu rendah namun mampu menggema menggentarkan sanubari.

Sicheng tetap mendekat. Mengurungnya di antara dinding yang dingin.

"Apa serendah itu, aku di matamu? Heart, kumohon dengarkan aku."

Pintanya tak mampu disanggupi. Bukan soal perkara rendahnya kedudukan dalam hati. Melainkan, ada sebuah ikatan tanggungjawab yang mengikat diri masing-masing. Seharusnya, mereka sudah mulai menyusuri jalan takdir untuk kehidupannya sendiri.

"Aku sudah mendengarkanmu. Sekarang pergilah."

Kalimat itu tak lebih bagai pengusiran. Tak menyadari itu bisa menjadi bumerang pembawa lara nestapa.

"Lihatlah. Kau bahkan mengusirku," balasan dalam tatapan gelap. Ancaman mulai terasa menegangkan, terutama ketika netra itu mulai meneteskan air mata.

Ketakutan merajam batin, serta-merta bersama segenap kesedihan karena tatap penyayang itu telah berubah, kian menjadi-jadi. Memojokkannya dengan keji.

"Tolong Sicheng pergilah."

Memohon adalah salah satu cara untuk meluluhkan hati yang telah dibutakan. Kun rela meratap, asal ia bisa dibebaskan. Selagi hatinya berteriak gelisah, meminta Tuhan mengakhiri segalanya.

"Tak akan heart, kau bahkan belum menanyakan maksud kedatanganku."

Kilat gemuruh menghiasi bayangan. Sicheng tetap berdiri angkuh, berusaha memangku hatinya yang tinggal sekeping rapuh.

Pemaksaan batin bukan lagi perkara manis. Kendati, tatapan penuh puja itu malah terasa menyakiti. Ada air mata yang mengalir dari pelupuk mata yang dulu terkasih kini dipenuhi luka batin.

"Aku tetap mencintaimu, heart. Masih mencintaimu."

Bersama duka yang mengalir deras. Badai di luar seolah mengamuk. Menegaskan keduanya bahwa mereka tidak terikat dalam puisi takdir sang maha suci.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang