25

228 42 35
                                    

Bukannya tidak menyadari. atau tidak melihat. Sejujurnya, ia begitu tahu kalau sedari tadi sepasang mata kelam itu tak henti mencuri pandang padanya.

Yuta Nakamoto terlalu cerdas dan sensitif untuk di pandang secara diam-diam seperti itu.

Dalam hati mencibir betapa tidak berguna dan memalukannya perilaku si perancang busana ini.

Ketahuan menatap mata-mata pribadinya sendiri, sambil pura-pura menikmati Lotus Blossom-nya dengan perlahan.

Kendati menegur, Yuta lebih memilih untuk menghiraukan. Ia tidak peduli.

Mau selama apapun atasannya itu menatap, selama itu tak mengganggu konsentrasinya untuk memata-matai targetnya, ia takkan marah.

Tapi, selama waktu berjalan, dan sejauh matanya memandang, ada satu keanehan yang di rasa Yuta atas tempat ini.

Ada sesuatu yang kurang, di bandingkan dengan kunjungan-kunjungan di hari sebelumnya.

Dimana biasanya ia selalu berhasil menemukan kehadiran—targetnya—seorang barista yang tengah sibuk meracik kopi.

Melirik pada jam digital yang tertera di layar ponselnya, Yuta yakin ia tidak salah memilih jam berkunjung.

Ini termasuk jam kerja, dimana seharusnya semua karyawan cafe ini tengah sibuk dengan pekerjaannya.

Biasanya pula, mengingat kunjungan rutinnya belakangan, Yuta tak pernah sekalipun menyaksikan si barista tersebut absen.

Apa mungkin si barista itu libur?

Sempat lah benaknya bertanya demikian. Meneguk habis minumannya, Yuta hampir bangkit dari tempat dan berniat menghampiri Jisung—si pelayan kurang ajar—yang sedang menyusun puluhan botol wine, untuk menanyakan perihal ketidakhadiran si barista.

Hendak membualkan alasan bahwa ia ingin meminum kopi yang di buatkan langsung oleh si barista, ia hampir beranjak jika saja—

"Yuta, aku ingin bertanya,"—Taeyong tidak meraih tangannya, bersamaan dengan munculnya tatapan ‘tolong dengarkan aku dulu’ dari wajah cantiknya.

Well, Yuta tak ingin jadi pembohong untuk mengakui bahwa ia sering terkagum dengan wajah cantik yang di miliki atasannya.

Melepas fakta, bahwa Taeyong adalah laki-laki sama sepertinya. Dan menurut Yuta, itu suatu yang unik.

Menggagalkan niatannya. Yuta membenarkan posisi duduknya, menjadi menghadap penuh, "ada apa? Kau ingin bertanya apa?"

Yuta bersumpah kalau suaranya terdengar menyebalkan di telinganya sendiri. Tapi sungguh, sedikitpun tak ada niat di hatinya untuk bersikap ketus pada Taeyong.

Ia hanya gelisah dan panik karena keadaan sekitar.

Melirik pada Jisung yang malah berlalu menuju dapur, Yuta mendesah pasrah karena harapannya untuk bertanya—terpaksa— harus di tunda beberapa saat. "Apa adikku berada disini?"

Mengernyit. Yuta mengangguk sekilas, "seharusnya begitu."

"Mmm..." Dilihatnya, Taeyong nampak ragu untuk berkata. "Yuta, apa Jisung adalah adikku?"

Bagai di sambar petir di siang hari. Yuta tak bisa menahan keterkejutan diri atas pernyataan menyeramkan dari Taeyong.

Bola matanya membulat tanpa bisa di cegah, rasanya ingin menampar diri sendiri dan berteriak; Apa aku tidak salah dengar?

"Dari mana kau bisa berpikiran begitu?" Mencoba menyembunyikan keterkejutan dan bersikap tenang. Walau nyatanya wajah pucatnya tak bisa di sembunyikan.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang