81

121 26 5
                                    

Pintu yang berhadapan langsung dengan pembatas itu ia ketuk perlahan. Sesekali menatap penuh waspada pada keadaan sekitar, takut akan ada Johnny atau Doyoung yang melihat tingkah tak sopannya.

Samar jawaban terdengar. Lirih perintah yang menyuruhnya masuk itu, terlalu lemah nadanya. Dan di saat Ten melangkahkan kaki kedalam ruangan hangat itu, wajah Kun yang lelah nan sembab menusuk batinnya dengan telak. Seolah firasat mengatakan. Bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi di luar dugaannya.

Rasa terkejut membuat langkahnya terasa lemas. Kun menyandar lemah pada kepala ranjang. Sebisa mungkin tengah berusaha memberinya senyuman penguat diri.

Ten mendekati Kun yang tampak tak berdaya dalam lindungan selimut tebal. Sepasang mata sayu nan sedih itu menunjukan kesengsaraan yang tak bisa Ten pahami seketika.

Duduk di tepian ranjang. Ten, memberanikan diri untuk bertanya, "Kun, apa yang terjadi denganmu?"

Spontan tangannya terangkat menyentuh luka di sudut bibir Kun, otaknya terus membisikan suatu hal yang tak henti ia bantah kebenarannya.

Menggeleng, Kun memaksakan tersenyum dalam mata berkaca-kaca. "Aku tidak apa-apa, hanya tidak enak badan saja. Ten, kenapa kau ke sini? Kau harusnya bersiap-siap untuk pemberkatan."

Persetan soal pemberkatan. Sekalipun Kun berusaha mengalihkan pembicaraan, Ten bukan tipikal orang yang mudah dibodohi. Kerah rendah dari piyama tidur yang dikenakan Kun, menyingkap kulit putih yang berhiaskan suatu tanda yang mencurigakan.

"Ten," tak ia hiraukan panggilan itu. Matanya semakin menelusuri, di sekitar leher dan tulang selangka, tanda itu jelas terlihat.

Sontak saja hatinya makin gelisah tak karuan. Beragam pikiran buruk menghantuinya dengan murka. Segala kecurigaan bermunculan dalam benak. Tanda itu jelas tak asing. Semua orang pun jelas akan memikirkan hal yang sama. Jika tanda itu dibuat atas dasar nafsu birahi.

"Kun, siapa yang melakukan ini padamu? Katakan."

Ten menuai paksaan. Jemarinya menunjuk pada satu tanda yang paling jelas. Dalam ketakutan yang memuncak, ia tak kuasa membayangkan kengerian akan kecurigaannya sendiri.

Dengan lemas Kun melepaskan jemari itu dari lehernya. Luka itu tak ingin ungkit keberadaannya. Bahkan mengingat tanda hina yang tergambar di lehernya pun ia tak sudi. Kebusukan cinta semalam, selalu berhasil membuatnya muak pada dirinya sendiri.

"Bukan apa-apa. Tolong jangan menyentuhnya."

Sakit dirasakan hati, saat Ten menghujaninya dengan tatapan penuh luka. Seolah ia sudah tahu segalanya. Ten malah mencengkram bahunya dengan erat. Menuntut penjelasan yang paling menyakitkan.

Tidak. Kun tidak mau mengingatnya.

"Katakan! Katakan padaku siapa yang melakukannya! Ayo Kun, katakan padaku..."

Mereka terjatuh dalam duka bersama. Harapan pupus dalam hatinya. Di saat Kun tersedu pilu di hadapannya. Tangis penuh kesedihan itu seakan bisa menjelaskan. Tak perlu perkataan dan pertimbangan, Ten seolah bisa membaca duka dalam tatap berurai air mata itu, bahwa kekasih hatinya lah yang jadi pelaku dari perbuatan hina ini.

"Ten, tolong jangan marah padaku."

Bisikan itu sangat mustahil terjadi. Mana bisa ia membenci sedang Kun samasekali tak bersalah di sini. Kekejaman akan cinta penuh ambisi dari sang pujaan hati, menjebak mereka dalam luka tak bertepi.

Selain mengasihani dirinya sendiri. Ten tak memiliki pengobat untuk semua luka yang telah terlukis. Mereka sama-sama terluka. Menekan kehancuran hatinya sendiri, di raihnya tubuh rapuh itu kedalam pelukannya. Ia ingin membagi kesedihannya. Dari orang yang sama. Dalam rajutan luka yang berbeda.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang