28

212 35 22
                                    

Bunyi dentuman ringan memenuhi pendengaran saat pintu merah gelap itu di tutup dengan dorongan tubuhnya.

Ten berdiri di balik pintu dengan lamunan yang melayang tak menentu. Suasana sepi langsung menyapanya pertama kali.

Waktu empat bulan nyatanya belum terasa cukup untuk membuatnya terbiasa dengan kesendirian dan kesepian yang di ciptakan karena kepergian kedua orang tuanya.

Masih saja ia di buat merindu, akan kehadiran ibu juga ayahnya yang biasanya tengah di sibukkan dengan acara memasak dan membaca buku.

Dari yang ia tahu, ibunya sangat mencintai dapurnya. Dan ayahnya sangat mencintai buku-bukunya.

Dua kebiasaan yang begitu melekat pada ingatan dan terlalu berharga untuk di lupakan.

Bahkan saking manisnya kenangan yang di ciptakan oleh keduanya. Ten seakan masih sanggup mencium aroma yang di tinggalkan orang tuanya.

Harum masakan yang menguar dari dapur, atau harum teh yang selalu tercium di sore hari dari cangkir ayahnya, seakan menjerat Ten untuk tetap bertahan dalam keterpurukan.

Tidak sadar jika kehidupan tetap berjalan di depan, beriringan dengan tabir rahasia yang perlahan tersingkap.

Ten melangkahkan kaki. Menuju sebuah sofa di ruang tamu yang berhadapan langsung dengan jendela.

Itu tempat favorit ibunya duduk. Dulu, ia sering menumpukan dagunya pada kaki sang ibu sambil bercerita tentang satu hari berat yang berhasil ia lalui.

Dengan penuh kasih ibunya mendengarkan, sambil sesekali memberikan elusan sayang pada pucuk kepalanya.

Ibunya selalu berusaha mencurahkan seluruh kasih sayang yang di miliki untuk dirinya seorang.

Ten menjadi penerima kasih sayang terbesar dari keduanya, sekalipun ia bukan anak kandung mereka dan mereka pun telah mengetahuinya. Tapi ibunya selalu berkata,

“Tak mengapa. Mau siapapun dirimu, kau tetap anak kami. Kau besar bersamaku disini, jikapun anak kandung kami ada bersama kita disini, kau tetap berhak menerima kasih sayangku. Tak ada istilah anak angkat disini. Ibu dan ayah adalah orang tuamu.”

Sesempurna itulah kenangan yang tercipta.

Bahkan sebelum pergi, ayah dan ibunya sempat membicarakan masalah ini dengannya.

Tentang asal-usulnya, juga tentang kesalahan ini.

Mereka yang saat itu terjebak dalam keterbatasan hanya bisa menggantungkan harapan, dan saling menguatkan hati masing-masing.

Ten tahu kalau kedua orang tuanya begitu ingin bertemu dengan anak kandung mereka—yang sekarang entah berada dimana bahkan Taeyong pun tidak membahasnya sama sekali— tapi takdir berkata lain, dengan memanggil mereka terlebih dahulu sebelum sempat mereka melihat seperti apa rupa anak kandung mereka.

Menolak untuk mengikuti keinginannya, ibunya malah membantu Ten menemukan keluarganya.

Atas dasar alasan agar anaknya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik.

Ten bahkan masih mengingat untaian kalimat penyemangat yang di berikan padanya.

Ibunya meminta, agar ia tidak menyerah mencari kebahagiaannya.

Itu adalah kalimat terakhir yang ia dengar.

Sambil mengusap air mata, ia kembali dibuat merindu akan kehadiran ibunya.

Ibu yang mau mencintainya tanpa syarat. Tanpa memperdulikan status yang ada.

Sebentar lagi, mungkin dalam hitungan hari, dirinya akan segera meninggalkan tempat ini.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang