82

128 26 8
                                    

Suara ketukan di pintu, mengejutkan Sicheng dari tidurnya. Sedikit tidak sopan, karena malah meninggalkan tamu-tamunya begitu saja, tapi tubuh dan hatinya tak bisa diajak berkerjasama. Nyeri di sekujur tubuh, serta malu besar dalam jiwanya, membuat Sicheng semakin enggan beradu muka dengan siapapun.

Setelah bangun dari pingsannya, ia baru menyadari perbuatan yang telah dilakukannya pada Kun. Sesak seketika menyiksa jiwa, batinnya hancur, ketika mengingat bahwa ia bisa saja menghancurkan tubuh itu. Penyesalan selalu datang belakangan, dan kini Sicheng merasakannya.

Menyerah hatinya jika Kun ingin membenci. Membunuhnya pun ia rela. Karena kata maaf sepertinya tak lagi cukup untuk menutupi luka kotor yang telah ia torehkan.

Beruntung Lucas datang saat itu. Setidaknya, meskipun pukulan yang menjadi jalan, pria itu berhasil menghentikannya. Sebelum ia benar-benar menghancurkan Kun, dan menjatuhkan derajatnya ketitik terendah.

Sebagai seseorang yang masih mencintainya. Sicheng tak sanggup membayangkan kekejaman perilakunya sendiri yang gelap mata karena cinta.

Ia hina, kotor, dan kejam. Pantas, Tuhan tidak menyatukannya dengan Kun. Ia bukan seorang yang pantas untuk melindungi kesucian, ketulusan, dan kelembutan hatinya.

Nyatanya, rasa cintanya justru nyaris merusak Kun tanpa perasaan.

Sama saja ia menyakiti. Kadang ia ingin menanyakan, mengapa semua ini terjadi? Dan ketika ia menyadari, titik fatal dari semua ini. Ia mengakui sudah tak mungkin lagi. Sicheng menutup jalan terakhirnya sendiri dengan coretan hitam tak terobati.

Semua kenangan dulu, akan ia simpan hingga dengan baik. Karena di hari esok semuanya mulai memasuki lembaran baru. Tak menyangka ia telah dimiliki, satu jam lalu ia mengucapkan sumpah sehidup semati, kepada dia yang mungkin saja sedang menangis tersedu menelan rasa kecewa.

"Sicheng,"

Terbelalak ketika benak tak pernah mengira, Ten akan menghampirinya. Setelah semua luka dan penghianatan. Kehadiran itu justru masih berlatarkan cinta yang tulus untuknya.

Sicheng masih berdiam di tempat, menguji Ten yang setianya masih rapuh, merasa kesal akan tingkahnya.

"Sicheng buka pintunya! Aku janji takkan lama. Aku hanya ingin memberi obat."

Sekarang persoalannya bukan soal rasa tak nyaman saat bercengkrama, melainkan rasa tak pantas dan rendah diri yang menyiksa. Mulanya Sicheng ingin membiarkan. Sengaja menarik dirinya dari tatapan kecewa yang menghunus jiwa. Tapi ketukan di pintu semakin tak sabar. Menggempur luasnya hati dengan sentuhan baru bernama harapan.

Sekali hentak pintu itu terbuka. Seketika keduanya sama-sama terkejut, menatap pada wajah masing-masing. Tertunduk mereka kemudian, menyembunyikan degup jantung yang bertingkah sembarangan.

"Duduk di sana, aku tak bisa mengobatimu kalau kau terus berdiri."

Tak mempersilahkan tegur dan sapa mendahului. Tak ada percakapan untuk mengenyahkan kecanggungan. Mereka langsung menuju poin terpenting.

Ten berjalan meninggalkan Sicheng yang masih terpaku. Sadar, Ten sudah menjauhinya menuju ranjang. Ia menutup pintu bersama tatapan yang tak pernah terputus menatap lantai.

"Siapa yang menyuruhmu kemari?"

Di ambang langkahnya, belum juga mereka berdekatan, pertanyaan tak memandang perasaan mengudara dengan mudah. Sicheng dalam sorotan patah hatinya, memandang Ten penuh selidik. Seolah ia datang untuk mencuri cinta.

Sang tertuduh yang sedang mempersiapkan segala keperluannya, tersenyum kecut. Nyeri sekilas dirasakan batin, tapi cepat ia tepis sensasinya.

"Tak ada yang menyuruhku, aku hanya terlalu bodoh untuk terus peduli padamu. Kekerasan pukulan sahabatku cukup fenomenal, aku hanya tak mau mengotori status nahasku dengan membiarkanmu gegar otak tanpa perawatan. Tak usah takut, anggap saja aku dokter sukarelawan atau apa saja terserahmu. Yang penting buatlah dirimu senyaman mungkin, obat-obat memar ini akan terasa sedikit nyeri dan aku tak mengizinkanmu untuk protes."

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang